Jumat, 15 Maret 2013

Aku Bukan Karang


AKU BUKAN KARANG
Oleh : Khadijah Anwar

Aku baca sekali lagi koran yang ada di tanganku, “Di balik Manisnya Mulut Wihardi”, judul sebuah berita di koran pagi ini, Aku benar-benar tak percaya bahwa Wihardi yang disebutkan dalam koran tersebut adalah papa. Papa diduga terjerat kasus korupsi. “ Bukan, ini pasti bukan Papa!” teriak batinku tak percaya.
“Ternyata kamu di sini, Nad?” suara Hilda membuyarkan semua pikiran ku,
“Kenapa, Hil?” tanyaku sambil menyembunyikan koran yang aku baca.
“Boring sendirian di kelas”
“Oh...” Jawabku singkat.
Aku berusaha menghilangkan semua rasa tidak percaya akan berita yang aku baca tadi, tapi tetap saja bayang-bayang berita itu berputar di otakku. Aku mulai membayangkan jika Wihardi di koran itu adalah papa, pikiranku kian berkecamuk.
“Sakit gigi ya, Nad? tanya Hilda heran melihatku diam. Aku hanya menggelengkan kepala,
“Kamu berantem sama Ryan?” tanyanya lagi.
Nggak.”
Kamu ada masalah?”
Nggak, Hil. Aku mau pulang, bisa tolong izinin sama guru piket?”
“Iya. Tapi ingat, jika kamu butuh teman buat cerita, aku ada untuk kamu.Ujarnya.
“Thanks ya, Hil.”



***
Aku ingin segera pulang dan menanyakan semua kebenarannya pada Mama. Tapi sepertinya aku harus menahannya, karena aku melihat ada pengacara keluargaku di ruang tamu, tengah berbincang dengan Mama. Entah apa yang mereka bicarakan. Karena takut mengganggu, aku terpaksa mengendap masuk lewat pintu belakang. Di ruang tengah, tak sengaja terdengar perbincangan mereka.
“Dua minggu lagi sidang terakhir Pak Wihardi.” Ujar pengacara itu.
“Sidang? Papa disidang?” tanyaku dalam hati. Pernyataan pengacara itu membuat hatiku makin bertanya-tanya. Tak lama kemudian, kulihat Mama mengantarkan pengacara itu ke depan pintu.
“Ma, kenapa Papa disidang? Papa bukan koruptor, kan? Berita di koran itu bohong kan, Ma?tanyaku akhirnya setelah pengacara itu pergi. Mama hanya diam, tidak ada tanda-tanda akan menjawab pertanyaanku.
“Ma, Nadia sudah besar, Nadia berhak tahu semuanya.” Desakku
“Sekarang kamu ganti baju, setelah itu kamu ikut Mama. Nanti kamu akan mengerti.” Suara Mama akhirnya.
***
Taksi melaju dengan cepat. Sementara aku dan Mama masih dalam diam. Tak ada suara, selain suara deru mesin mobil dan sesekali terdengar suara klakson. Ingin kutanyakan semuanya pada Mama, tapi aku membatalkan niat itu. Aku tahu, walaupun aku menanyakannya, Mama tak akan menjawab. Tatapan mata Mama kosong, tampak jelas ada beban di pikirannya.
Aku tersentak dari lamunanku saat mengetahui bahwa taksi ini berhenti tepat di depan sebuah gedung dengan papan nama “ Kepolisian Negara Republik Indonesia”.
Ini kantor polisi sekaligus rumah tahanan.” Ujarku membatin.
Setelah membayar ongkos taksi
Mama mengajakku masuk.
“Ma, kenapa kita ke sini? Apa benar Papa ditahan?” tanyaku setelah Mama membayar ongkos taksi dan mengajakku masuk. Mama tak menjawab.
Mama justru menghampiri seorang polisi di sebuah meja. Mereka berbincang sebentar, lalu Mama mengajaku duduk di sebuah kursi tunggu. Tak lama kemudian, polisi yang berbincang dengan Mama keluar dengan seorang tahanan paruh baya.
“Papa!” panggilku tak percaya. Tahanan itu benar-benar Papa, aku tak mungkin salah, kupeluk Papa dengan erat. “Ada apa ini, Pa? Kenapa Papa di sini?” tanyaku di sela tangisku. Aku menangis. Sedih. Pelukanku makin erat, Papa membelai rambutku penuh cinta.
“Papa difitnah, sayang. Semua rekayasa politik, papa dituduh korupsi proyek pembangunan jalan di Tanjung Api-Api senilai 11 milyar.” Jelas Papa yang memintaku untuk duduk.
“Papa melakukannya?”
“Tidak sayang, Papa tidak pernah korupsi uang apapun, kamu harus percaya Papa” ujar Papa.
“Pa, tadi Pak Roy bilang 2 minggu lagi sidang terakhir Papa.” Ujar Mama menahan rasa sedih yang terlihat jelas di wajahnya. Papa mengangguk mengiyakan.
“Nad, Papa titip Mama dan Nindy sama kamu selama Papa disini”
Aku hanya mengangguk mengiyakan.
“Kamu harus percaya, kebenaran akan terbukti. Ini hanya sementara “ Ujar Papa meyakinkanku, tetap dengan senyumnya yang tak pernah hilang dalam keadaan apa pun. Ini yang aku suka dari Papa. Aku berusaha untuk tersenyum, meski sulit. Aku berharap ini mimpi dan segera terjaga dari tidurku. Bukan, ini bukan mimpi ini sebuah kenyataan yang harus aku hadapi.
“Pa, Nadia percaya Papa, Nadia janji akan menjaga Mama dan Nindy selama Papa di sini.” Janjiku dalam hati.
***
Berita tentang Papa yang di tahan karena kasus korupsi menjadi berita utama di setiap surat kabar. Sekarang, hampir semua orang kenal Papa sebagai seorang koruptor dan aku anak seorang koruptor.
Biasanya aku selalu mencurahkan semua yang aku rasakan pada Hilda dan dia selalu ada. Tapi, sejak berita Papa tersebar. Dia mulai menjauh dariku. Bahkan pacarku pun mulai berubah, setiap kali aku telepon dia selalu beralasan sedang sibuk dengan tugas kuliah.
Tanpa aku sadari, aku menangis. Aku selalu berusaha tegar, tapi sebenarnya aku sangatlah rapuh.
“Kamu kenapa, Nin?” Tanyaku khawatir melihat Nindy, adik kecilku. Yang tiba-tiba masuk ke kamarku sambil menangis. Dia menangis di pelukanku.
“Teman-teman Nindy bilang kalau Papa Nindy koruptor dan sekarang Papa di penjara” Ujarnya di sela tangisnya, hatiku kian sakit mendengar tangis Nindy. “Kak, Papa kita nggak di penjara, kan? Papa bukan koruptor kan, kak?” Desaknya.
Sayang, Papa kan lagi kerja di Bandung. Nanti pasti pulang dan bawa boneka teddy pesanan kamu.” Suaraku akhirnya. Aku mengapus air matanya yang mulai mengering. Nindy masih terlalu dini untuk mengetahui semuanya. Dia mulai diam.
“Kak, tadi pulang sekolah Nindy lihat Kak Ryan mencium pipi Kak Hilda di depan rumah Kak Hilda.” Ceritanya. Aku tersentak. “ Ryan mencium pipi Hilda?” Tanya hatiku.
“Wah, adik Kakak sudah pintar gosip ya?” Candaku.
“Ini bukan gosip Kak, Nindy lihat sendiri.”
“Sudah ah, sudah malam kamu tidur sana, besok kan sekolah.” Perintahku akhirnya.
”Nindy tak mungkin berbohong. Apa benar Ryan dan Hilda selingkuh di belakangku?” Pikirku. “Mungkin memang Hilda yang pantas untuk Ryan, bukan aku” Desahku akhirnya.
“Tuhan, berikan aku kekuatan untuk melewati semuanya. Aku percaya ada rahasia indah di balik cobaan ini.” Do’aku dalam hati.

***
Satu bulan terakhir ini adalah hari-hari terberat dalam hidup ku, karena aku harus menjalani hari-hariku dengan tatapan sinis dan cemooh orang-orang di sekitarku. Bahkan tanpa seorang pacar atau sahabat sebagai tempat berbagi. Tapi aku tak ingin terpuruk dalam keadaan ini. Hari ini adalah sidang terakhir Papa. Seharusnya satu minggu yang lalu, tapi karena ada kendala, sidang ditunda hingga hari ini. Bertepatan dengan hari ulang tahunku yang ke 17. Di usiaku yang ke 17 ini aku akan berusaha untuk lebih dewasa.
“Ayo sayang.” Ajak Mama membuyarkan lamunanku. Aku mengikuti langkah Mama.
“Mereka?” Teriakkku tak percaya melihat ke luar kaca jendela. Aku tak mungkin salah lihat. Mereka, Hilda dan Ryan yang tengah berboncengan dengan mesra. “Stop Pak.” Ujarku pada sopir taksi. Beranjak ingin keluar dan mengakhiri semua penghianatan yang mereka lakukan.
“Jangan sayang, biarkan saja mereka. Sidang Papa lebih penting dari apa pun.” Tahan Mama. “Jalan Pak.” Ujar Mama. Aku mengurungkan niatku untuk menghampiri mereka. Mungkin apa yang dikatakan Mama ada benarnya.
Jalanan begitu macet. Aku sudah tak sabar untuk segera menemui papa.
Sesampainya di
pengadilan Mama harus menemui pengacara kami terlebih dahulu.
“Ma, Nadya langsung ke ruang sidang aja yah.” Izinku.
Aku langkahkan kakiku menuju ruang sidang. Pengacara tadi bilang sidang akan dimulai satu jam lagi. Pikiranku masih melayang melihat kejadian tadi. Aku masih tak habis pikir orang yang sangat aku percaya dapat menghianatiku. “Apa ini alasan Ryan menghindar dariku selama ini?” tanya batinku.
“Tidak, aku tidak boleh memikirkan mereka, ada yang lebih penting dari mereka.” Berontak batinku. Aku menarik napas panjang menenangkan pikiranku.
Ruang sidang masih tertutup dengan rapat. Aku buka pintu ruang sidang perlahan.
“Happy birthday to you. Happy birthday to you.”
“Tar…tar…tar…”
Sebuah kejutan pesta ulang tahun. Aku terpana menyaksikan yang aku lihat. “Hilda? Ryan?” tanyaku melihat mereka bersama teman-teman satu kelasku.
“Selamat ulang tahun ya.” Ujar Hilda memelukku.
“Tiup lilinnya. Tiup lilinnya sekarang juga, sekarang juga.” Teriak yang lain.
“Make a wish dulu sayang.” Ujar Ryan.
Sebuah kue ulang tahun berbentuk piano yang sangat indah dipersembahkan untukku. “Tuhan, aku hanya meminta, berikan yang terbaik untuk aku dan orang-orang di sekitarku.” Pintaku dalam hati. Kutiup lilin berlambang 17 itu dengan segudang pertanyaan dikepalaku.
“Potong kuenya dong.” Teriak suara yang sangat aku kenal. Anton. Teman sekelasku.
Aku memotong kuenya. Suapan pertama kuberikan pada Mama yang sudah datang menghampiriku dengan perasaan yang tak kalah terkejutnya dengan aku. Suapan kue kedua kuberikan pada Ryan yang entah sebagai apa statusnya di hatiku detik ini. Lalu, Hilda. Mereka bergantian memberikan ucapan selamat kepadaku.
“Aku harus bicara pada kalian.” Ujarku menarik tangan Hilda dan ryan ke luar dari ruang sidang.
“Apa maksud semua ini? Kalian sudah berhianat di belakangku. Apa dengan kejutan ini kalian pikir kalian bisa menutupi semuanya?” ujarku melampiaskan semuanya di luar ruang sidang.
“Nad, kami sering jalan bareng karena kami menyiapkan semuanya buat kamu. Kami tidak pernah menghianati kamu. Kami sayang sama kamu.”
“Iya Nad, Hilda tidak bohong. Tidak ada hubungan spesial diantara kami selain sahabat.”
“Kemana saja kalian selama satu bulan ini? Saat aku butuh. Saat aku terpuruk. Kalian malu kenal dengan seorang anak koruptor sepertiku? ”
“Nad, aku tidak pernah menjauh dari kamu. Aku hanya lagi sibuk dengan kegiatan lomba di sekolah dan kamu sendiri tak pernah ada setiap kali aku temui.” Ujar Hilda.
“Bulsyit…” Ujarku meninggalkan mereka.
“Nad…” Panggil Ryan. Dia memelukku. “Aku sangat menyayangi kamu, aku tak mungkin selingkuh, apalagi sama Hilda. Percaya aku.” Ujarnya. Aku hanya diam. “Aku dan Hilda baru mengetahui berita Papa kamu di penjara dua hari yang lalu dari teman-teman sekelas kamu. Sumpah!” Ujarnya lagi.
“Iya Nad, kami di sini karena kami mau kamu tahu bahwa kami ada untuk kamu dalam keadaan apa pun. Kami semua sayang sama kamu.” Sambung Hilda.
“Kalau kamu pikir kami menjauh dari kamu, kamu salah. Tanpa kamu sadari justru selama ini kamulah yang menjauhi kami secara perlahan. Kamu selalu pulang lebih awal. Kamu juga tidak pernah datang rapat organisasi. Sadar itu, Nad.” Ujar Anton yang juga teman baikku di kelas.
Aku diam. Anton ada benarnya. Selama ini akulah yang menutup diri dari mereka. Aku malu dengan apa yang terjadi dan aku pikir bahwa mereka akan membenciku setelah mengetahui semuanya. Jadi, daripada mereka menjauhiku, aku mulai melangkah mundur menjauhi mereka secara perlahan. Ternyata apa yang aku pikirkan salah. Mereka tak pernah membenciku. Mereka semua peduli padaku.
“Maaf Hil.” Ujarku. Aku melepaskan pelukan Ryan. Aku memeluk Hilda.
“Tidak apa-apa, Nad. Kami mengerti posisi kamu.”
Aku meneteskan air mataku. Kali ini air mata bahagia. Aku bahagia masih ada orang yang sayang sama aku dalam keadaan seperti ini. “Terima kasih Tuhan, Kau berikan aku orang-orang yang sangat menyayangiku.” Batinku.
“Masuk yuk. Sidang sudah mau mulai.” Ajak Hilda.
Aku, Ryan, Hilda dan Anton masuk keruang sidang. Benar saja, sidang akan segera dimulai. Pak hakim dan jaksa sudah ada di tempatnya. Aku lihat Papa melihat ke arahku, dia tersenyum dengan senyum khasnya. Dia seakan memberikan isyarat bahwa aku harus bisa tersenyum.
Sidang berjalan cukup lama, dengan mendengarkan beberapa saksi. Aku optimis bahwa Papa akan bebas dari tuduhan yang tidak pernah ia lakukan itu. Jantungku berdegup lebih kencang saat Pak hakim akan memutuskan perkara ini.
“Kami ada buat kamu, Nad.” Support Hilda merangkulku.
“Papa pasti bebas.” Ujar Ryan menggenggam erat tanganku.
“Setelah mendengarkan keterangan beberapa saksi, maka kami memutuskan bahwa Wihardi Pratama terdakwa kasus korupsi, dinyatakan bersalah dan dihukum selama tiga tahun tujuh bulan penjara dengan denda uang sebesar tujuh ratus delapan puluh juta rupiah. Sidang ditutup. Tok, tok, tok.” Suara Hakim memberikan keputusan.
Keputusan yang sama sekali tak kuinginkan. Kuteteskan air mata. Kulihat
Mama pun meneteskan air mata. Aku memeluk Mama, berusaha menegarkannya. Walaupun sebenarnya aku sendiri sangat sedih. Aku dan Mama berusaha bangkit menghampiri Papa yang masih duduk di kursi terdakwa dan memeluk Papa dengan erat. Banyak support yang datang.
“Nad, kamu tidak sendiri. Kami akan ada di dekat kamu melewati semuanya.” Ujar Nita menghampiri aku dan keluargaku.
“Kamu juga punya aku, Nad.” Ujar Ryan.
“Tuhan, jika ini adalah awal dari ujian yang Kau berikan, maka kuatkanlah aku. Aku akan tetap melangkah maju melewati semua ini dengan dukungan orang-orang di sekitarku. Aku tak boleh terpuruk lagi.” Batinku. Aku menghapus air mataku. Kulihatkan senyum termanisku pada Papa. “ Pa, aku bukan batu karang, dan mungkin tak akan setegar batu karang. Tapi aku janji ini air mata terakhirku, Pa.” Janjiku dalam hati.

TAMAT


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kata-kata yang baik, mencerminkan pribadi seseorang.