Jumat, 29 Maret 2013

Kelemahan Penulis Pemula


Kelemahan Penulis Pemula


Kelemahan pertama: STRUKTUR CERITA  


Seperti kita ketahui dalam struktur cerita biasanya ada pembukaan (pengenalan), konflik, klimaks, anti klimaks (leraian) dan pengakhiran. Nah, cerpenis-cerpenis pemula biasanya kurang memperhatikan proporsionalitas struktur cerita. Banyak di antara mereka yang berpanjang-panjang ria dalam menulis pembukaan cerpennya. 



Mereka menceritakan semua, seolah takut para pembaca tak mengerti apa yang akan atau sedang mereka ceritakan. Akibatnya sering satu sampai dua halaman pertama karya mereka masih belum jelas akan menceritakan tentang apa. Hanya pengenalan dan pemaparan yang bertele-tele dan membosankan. 



Konflik yang seharusnya dibahas dengan lebih jelas, luas dan lengkap, sering malah disinggung sambil lalu saja. Pengakhiran konflik pun dibuat sekedarnya. Tahu-tahu sudah penyelesaian. Padahal inti dari cerpen adalah konflik itu sendiri. Jadi jangan sampai pembukaan cerpen menyamai apalagi sampai menelan konflik tersebut.






Para cerpenis pemula juga sering membuat panjang akhir cerpennya. Padahal banyak pengarang yang hanya membutuhkan satu dua kalimat saja untuk menyelesaikan cerpennya. 



Pokoknya, ingat kata Jakob Sumardjo: dalam cerpen yang baik, kecenderungan untuk menjelaskan secara rinci dan
terang-terangan ini dihindari. Cukup yang pokok-pokok saja dan pertautan selanjutnya kepada imajinasi dan
kepekaan pembaca.



Kelemahan ke dua: FOKUS CERITA



Yang dimaksud dengan  fokus di sini adalah penajaman persoalan yang disuguhkan dalam cerpen. Para cerpenis
pemula sering 'melantur ke mana-mana.' Mereka menyampaikan hal-hal yang tak ada relevansinya dalam cerpen tersebut. Menciptakan digresi-digresi (lanturan) yang biasanya hanya boleh ada dalam sebuah novel. Ibaratnya rumah kita ada di Bandung, tujuan kita mau ke Jakarta, ini malah lewat Bali.



Kelemahan ke tiga: BAHASA



Bahasa menjadi kekuatan yang menentukan dalam sebuah cerpen namun tampaknya hal itu belum disadari sepenuhnya oleh para pemula. Contohnya, mereka masih memakai kata kata yang cenderung klise, seperti rambutnya bagaikan mayang terurai, giginya seperti biji ketimun, pipinya merah delima, dan lain-lain yang kuno dan berbau pujangga baru. Banyak menumpang dan mengulang kata-kata yang pernah dipakai pengarang lain. 



Bahasa-bahasa mereka juga masih sekedar bahasa informasi, layaknya bahasa yang kita gunakan sehari-hari dalam proses komunikasi. Nyaris tanpa makna, tidak meninggalkan efek apalagi menimbulkan imajinasi pembaca.



Cerpen-cerpen bagus era ini adalah cerpen-cerpen yang menggunakan bahasa yang padat, jernih dan spontan.
Lihatlah cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma, Gus Tf Sakai dan Agus Noor. Mereka sangat selektif dan bergairah menciptakan kalimat-kalimat baru untuk mempercantik cerpennya. Kata-kata mereka lugas, kuat dan menghidupkan imajinasi kita.  



Pengarang pemula juga sering bingung menempatkan bahasa pop, slank atau dialek dalam cerpennya. Kalimat-kalimat tersebut tak jarang diletakkan dalam paparan narasi. Padahal kalimat-kalimat narasi seharusnya menggunakan bahasa yang standar, baku dan berlaku umum. Boleh saja kita menggunakan bahasa slank, pop atau dialek, tetapi terbatas pada dialog antar tokoh, guna memperjelas warna lokal dan karakter tokoh.



Kelemahan ke empat: JUDUL CERITA 



Banyak pengarang pemula yang 'gegabah' dalam memberi judul cerpennya. Padahal judul adalah hakikat cerita. Judul yang baik dan menarik haruslah yang membuat pembaca tertarik dan ingin tahu. Tetapi di sisi lain,judul juga harus mampu menggambarkan cerita secara keseluruhan.  



Berat? Tidak juga. Kita hanya harus sering melatih kepekaan, rasa bahasa kita. Hemingway misalnya, sering membuat daftar judul yang panjang setelah selesai mengarang, baru kemudian memilih satu yang paling bagus menurutnya. 



Banyak pengarang yang menemukan judul lebih dahulu baru mulai mengarang. Banyak pula yang memberi judul cerita, setelah cerpen yang ditulisnya selesai. Tak ada masalah. Keduanya tentu boleh. Bagaimana dengan judul yang puitis? Boleh saja asal wajar.



Jangan lupa, kalimat pertama dalam cerpen kita akan sangat menentukan. Seperti judul, buatlah kalimat pertama yang menarik dalam cerpen kita. 



Putu Wijaya membuka cerpennya "Bom" dengan kalimat kira-kira seperti ini: Oki terbangun di pagi hari dan menemukan sebuah bom di tempat tidurnya. Menarik bukan? Pembaca akan tergerak rasa ingin tahunya dan meneruskan membaca hingga akhir.



Di samping itu, kalimat terakhir dalam cerpen kita juga sangat menentukan keberhasilan cerita secara keseluruhan. Pembaca yang 'nakal' sering hanya membaca judul, kalimat pertama dan kemudian langsung membaca bagian akhir sebuah cerpen. 



Katakanlah, kita tutup cerpen kita dengan kalimat: Dan ia pun menutup mata selama-lamanya. Tentu saja sang pembaca merasa sudah kesal duluan dan menganggap cerpen itu tidak menarik karena ketahuan tokohnya meninggal di akhir cerita. 



Perlu diingat pula, bahwa cerpen yang memiliki ending terbuka (tanpa penyelesaian yang jelas atau sempurna), seringkali lebih menarik tinimbang cerpen-cerpen yang dipaksakan diakhiri dengan sebuah penyelesaian yang tuntas.

So, jika ingin menjadi cerpenis, maka harus banyak membaca karya orang lain. Agar semakin banyak kosakata yang dimiliki.. seperti kata Kuntowijoyo : bagi penulis, langkah pertama adalah menulis, langkah kedua menulis, langkah ketiga adalah menulis.

Selamat menulis...

Dikutip dari tulisan Helvi Tiana Rosa




2 komentar:

  1. Bermanfaat sekali informasinya mbak.
    Jadi terdefinisi apa saja yang Anna rasa kurang dalam gaya menulis Anna.
    hehehe
    Terimakasih mbak Dekha
    ^_^

    BalasHapus

kata-kata yang baik, mencerminkan pribadi seseorang.