Kamis, 28 Maret 2013

Secarik Kertas (Cerpen) ^_^


SECARIK KERTAS
Oleh : Khadijah Anwar


“Della, maafkan aku. Aku harus mengakhiri hubungan ini. Mulai detik ini kamu harus melupakan aku. Melupakan semua mimpi yang telah kita impikan bersama. Biarkan masa lalu kita menjadi bagian terindah dalam memori ingatanku. Ini keputusanku. Dan kamu tak perlu mencariku.”
            Ini kesekian kalinya aku membaca kertas ini. Membaca secarik kertas yang mampu membuatku terpuruk. Secarik kertas yang mengubah hidup dan mimpiku. Secarik kertas yang telah siap menghancurkan masa depanku.
            Dalam sunyi ini pun, aku masih dalam diam dengan secarik kertas ini. Aku duduk di depan jendela kamarku. Bersama lantunan merdu suara hewan malam. Bersama desir angin yang dinginnya menusuk tulang.  Bersama segudang tanya yang masih belum terjawab. Begitu lama aku mencari dan menanti jawabnya. Tapi, tak jua aku temukan.
            Ku tatap langit tak berbintang. Rembulan hanya sendiri. Sendiri dengan keindahannya. Sendiri dengan pesonanya. Tanpa bintang, ia tetap indah. Tanpa bintang, ia tetap mem pesona. Meski tak sesempurna bersama bintang. Bagaimana dengan aku? Aku tak dapat seindah rembulan tanpa dia. Tanpa seseorang yang selama ini memberi cahaya dalam gelapku. Brama.
            Brama. Aku benci menyebut nama itu. Aku benci mengingatnya. Namun, aku juga merindukannya. Merindukan semua hal darinya. Tapi, kebencian ini lebih menguasai seluruh hati dan pikiranku. Satu minggu lalu, dia pergi dan hanya meninggalkan secarik kertas ini. Meninggalkan bunga-bunga cinta yang tengah mekar. Meninggalkan sejuta cerita indah yang pernah terjalin. Meninggalkan berjuta mimpi yang telah terangkai. Dan meninggalkan segores luka yang begitu perih. Aku tak pernah tahu apa alasannya, karena sebelumnya semua baik-baik saja.



            Hati ini terluka. Hati ini tersakiti. Tapi, hati ini masih belum bisa terima semua ini. Hati ini masih menyimpan tanya yang harus terjawab. Hati ini masih membutuhkan jawaban.
“Kenapa dia meninggalkanku? Apa salahku?”
            Selalu, selalu, dan selalu hanya tanya itu yang ada di tiap langkah ini. Bahkan di dalam mimpi pun tanya itu menghantui. Aku tak berdaya dibuatnya. Aku mulai letih mencari. Aku benar-benar mulai rapuh tanpanya. 
            Sekali lagi, aku membaca kertas di genggamanku. Lagi-lagi butiran bening itu tak mampu aku bendung. Itu ungkapan hatiku kini. Tersakiti. Rasanya baru kemarin aku dan dia merajut cinta. Berjanji setia sehidup semati.
            “Aku janji, aku nggak akan pernah meninggalkanmu, apa pun yang terjadi. Kita akan menikah dan menghabiskan waktu bersama hingga ajal menjemput kita.”
            Itu janjinya. Ya, itu janji manisnya dan bodohnya aku mempercayainya. Sangat mempercayainya. Hingga membuatku bodoh, memberikan segalanya padanya. Kini, semua hanya tinggal janji. Hanya janji semata. Janji yang tak akan pernah terpenuhi.
            “Argh…” Teriak batinku yang benar-benar letih memikirkan semua ini. Pikiranku kacau. Aku tak dapat berpikir dengan jernih lagi. Dia telah meninggalkanku, itu kenyataannya sekarang. Dan aku belum bisa terima semua begitu saja. Aku mencintainya. Aku hanya ingin bersamanya. Aku tak mungkin hidup tanpanya. Dia telah memilikiku dan seluruh tubuhku.
            “Argh…” Suara rintihanku tertahan. Sebuah pisau tajam telah ku pilih untuk mengakhiri hidupku. Aku tak sanggup menanggung beban ini sendiri. Aku sudah benar-benar letih dengan semua rasa bersalah dan penyesalan ini.
            Andai dulu aku mendengarkan nasihat Mama untuk tidak berhubungan dengannya. mungkin semua tak akan jadi begini. Mungkin aku tak harus mengakhiri hidupku dengan cara ini. Tapi ini pilihanku, sama seperti pilihannya untuk meninggalkanku.
            Aku lihat Mama menangisi kepergianku, sambil memeluk tubuhku yang berlumuran darah  dengan erat. Ingin aku memeluk mama dan mendekapnya dengan erat. Menghapus air mata kesedihannya. Tapi, itu percuma. Mama tak bisa merasakan pelukanku saat ini. Karena dunia kami telah berbeda. “Maafkan aku, Ma.” Bisikku pelan.
Aku telah meninggalkan semua dengan cara yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya. Mungkin hanya dengan cara ini aku bisa menemukan jawabnya. “Brama, aku akan mencarimu di belahan bumi mana pun kau berada.
TAMAT
Palembang, 17 Februari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kata-kata yang baik, mencerminkan pribadi seseorang.