Selasa, 19 Maret 2013

Sorry! (Cerpen)


SORRY!!!

Oleh : Khadijah Anwar

“Lagi ngapain Beib?” Tanya Yuli mesra di telepon.
“Sorry Beib, ntar aja ya teleponnya. Aku lagi sibuk banget. Banyak tugas dari dosen.”
“Tapi Beib…”
Tuuut…tuuut…tuuut…
Suara telepon ditutup.
Yuli hanya mencoba menahan marah dan bersabar atas sikap Aan, kekasih yang sangat dicintainya.. Sudah hampir satu bulan ini sikap Aan dingin kepadanya. Setiap kali Yuli menguhubunginya Aan selalu mengelak dengan alasan sibuk dengan tugas-tugas kuliahnya. Padahal bulan-bulan pertama mereka pacaran Aan tak pernah absen menanyakan kabar Yuli walaupun tugas kuliah menunggunya.
Semula, Yuli pikir Aan memang benar tengah sibuk dengan tugas kuliahnya. Tapi, tak dapat dipungkiri kini hatinya resah. Apalagi tadi siang Rivi, sahabat dekatnya melihat Aan sedang makan di Café bersama cewek. Ingin rasanya dia tidak percaya, tapi tetap saja ia tak bisa begitu saja melupakannya. Dia hanya belum siap jika harus kehilangan Aan, karena dia begitu mencintainya.
            “Maafin aku Yul, tapi kita nggak bisa kita sama-sama lagi. Aku mau konsentrasi dulu sama kuliahku. Aku harap kamu bisa mengerti.”
Pesan itu baru saja diterima Yuli melalui handphonenya. Seperti tersambar petir Yuli membaca pesan itu. Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba Aan berkata demikian.
Yuli terus berusaha menghubungi Aan. “Nomor yang anda hubungi tidak dapat dihubungi silahkan coba beberapa saat lagi.” Jawaban dari suara di telepon. Berulang kali Yuli mendengar jawaban itu. Yuli tak berharap banyak. Dia hanya ingin sebuah penjelasan yang lebih logis kenapa Aan mengakhiri semuanya.. Tapi usaha Yuli sia-sia, tetap tak ada jawaban.
            “Kamu baik-baik aja kan, Yul?” Tanya Rivi khawatir melihat Yuli mematikan handphonenya dengan kasar.




            “Aku baik-baik aja. Vi, aku pulang duluan ya, kepalaku pusing banget.” Ujar Yuli berlalu meninggalkan Rivi. Sebisa mungkin dia berusaha menahan semua amarah dan rasa kecewanya.
            Sesampainya di rumah, Yuli langsung berlari ke kamarnya. Ia rebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dia tumpahkan semua air mata yang sejak tadi ditahannya. Hatinya benar-benar hancur, dia masih tak habis pikir Aan akan melakukan semua ini kepadanya.
            Dia meluapkan semua emosinya dengan memukul boneka yang pernah diberikan Aan pada hari ultahnya, Seandainya dihadapannya sekarang ada Aan mungkin hal yang sama akan dilakukannya.
            Teeeet….teeet….teeet…
            Suara bel didepan rumah mengehentikan semua pelampiasannya. Yuli langsung membersihkan wajahnya. Lalu bergegas membukakan pintu. Dalam hati dia mengomel. “Nggak bisa lihat orang tenang aja.” Gerutunya dalam hati.
            “Bang Ade?” Tanya Yuli menebak orang yang tengah membelakanginya ini. Postur tubuhn ya benar-benar mirip dengan Bang Ade. Dia membalikkan tubuhnya, ternyata benar dia Bang Ade, sepupunya Aan yang juga teman dekatnya.
            “Kamu baik-baik aja kan, Yul?” Tanya Bang Ade tanpa basa-basi. “Abang Khawatir banget sama kamu. Tadi abang telepon ke-hpmu tapi nggak aktif, terus abang telepon Rivi katanya kamu pulang nggak enak badan.”
            “Yuli baik-baik aja, Bang. Masuk yuk.” Ujar Yuli mempersilahkan Bang Aan masuk. “Sebentar ya, Yuli buat minum dulu. Bang Ade hanya mengganguk mengiyakan. Yuli segera ke dapur membuat dua gelas orange juice.
            “Nih, Bang. Diminum.”
            “Makasih ya, Yul.”
            Bang Ade selalu bisa membuat Yuli merasa nyaman, karena Yuli sendiri sudah mengganggapnya seperti abangnya sendiri. Kehadiran Bnag Ade sedikit mengobati luka yang ada di hatinya kini.
***
            Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Enam bulan lalu dia menangis karena kehilangan Aan. Tapi hari ini, ingat nama Aan pun sudah tidak lagi. Setelah kejadian itu Yuli memang mengubur segala hal yang berhubungan dengan Aan. Apalagi selama ini Bang Ade yang selalu membantunya melupakan Aan, dan mengobati luka dihatinya. Meski luka itu sudah hampir sembuh, dia masih belum bisa mencintai lagi.
“Yul, itu Aan kan?” Tanya Bang Ade penuh selidik ketika mereka pulang dari makan es krim. Yuli pun memutar matanya melihat ke arah kursi yang ada di depan terasnya. Dia tak pernah berubah, tetap dengan kaos kesukaannya dan jeans.
            Yuli dan Bang Ade masuk ke teras rumah. Sebuah senyum ramah dipasang Aan.
            “Mau apa lagi loe kesini?” Tanya Bang Ade penuh emosi.
            “Ada apa, An?” Tanyaku ramah.
            “Aku cuma mau minta maaf sama Yuli. Please Yul, maafin aku. Aku tahu aku terlalu bodoh karena aku sudah nyakiti cewek sebaik kamu. Aku…”
            “Cukup An, sebaiknya loe jangan ganggu Yuli lagi!” Bentak Bang Ade. Yuli hanya diam. Dia bingung harus bagaimana, selama ini dia tak pernah melihat Bang Ade semarah sekarang. Bang Aan yang Yuli kenal selama ini adalah seorang yang lembut.
            “Gue Cuma akan pergi, kalo Yuli yang minta! Loe bukan siapa-siapa Yuli.” Aan mulai memanas. Bang Ade diam. “Yul, gue mau kita balik lagi kayak dulu. Gue sadar gue salah, gue mohon kasih gue kesempatan satu kali lagi aja.” Pintanya menggenggam tangan Yuli, tanda memohon. Untuk beberapa saat suasana hening.
            “Lepas An.” Bentak Bang Ade kesal. Lalu menarik tanganku dari genggaman Aan.
            “De, Loe kenapa sih, gue Cuma butuh jawaban dari Yuli.”
            “An, dulu gue mau mengalah buat loe, karena gue pikir loe bisa bahagiain Yuli, tapi kenyataannya loe justru nyakiti dia. Gue nggak akan biarin loe nyakiti Yuli lagi. Gue cinta sama Yuli.” Kata-kata itu mengalir begitu saja dari mulut Bang Ade. Yuli hampir tak percaya.
            “Apa bang? Tadi abang bilang apa?” Tanya Yuli, berharap Bang Ade mengulang kembali kalimatnya tadi.
            “Yul, dari dulu abang cinta sama kamu, tapi abang nggak berani bilang karena abang tahu kamu cinta sama Aan. Tapi sekarang abang nggak mau kehilangan kamu lagi hanya karena kamu nggak tahu perasaan abang.”
            “Nah Yul, sekarang kamu udah tahu ternyata Ade juga suka sama kamu. Keputusan ada di tangan kamu.” Ujar Aan. Suasana kembali hening.
            “Sebaiknya kalian pulang. Aku belum bisa jawab.”
            “Oke. Aku masih tunggu jawaban kamu. Aku harap kamu bisa kasih aku kesempatan satu kali lagi.” Ujar Aan berlalu pergi.
            “Ikuti apa kata hati kamu aja, Yul.” Ujar Bang Ade lebih dewasa.
            Yuli memperhatikan mereka hingga mereka hilang di ujung jalan. Jauh di dalam hatinya Yuli berteriak. “Aku cinta kamu Bang Ade…” Suara hatinya.

TAMAT

2 komentar:

  1. wah, ada yang lagi galau nih tokohnya. hehe. biasanya cerpen lebih panjang dari ini ya, mba? mungkin bisa dikembangkan lebih detail lagi latar cerpennya, dan kirim ke media biar dapet fee. pasti maknyus deh. sukses selalu ya :D

    BalasHapus
  2. hehehe,,, tau aja nih,, untuk sementara hanya untuk konsumsi pribadi aja.. :)

    tergantung medianya menginginkan berapa lembarnya :)

    BalasHapus

kata-kata yang baik, mencerminkan pribadi seseorang.