KLUET
“Kapan
kamu wisuda, Man?”
Pertanyaan
itu diajukan Apak satu tahun yang lalu. Saat aku masih di
semester ke enam perkuliahanku. Baru tiga perempat jalan dari waktu yang
seharusnya kutempuh. Kupahami bagaimana maksud dan keinginan Apak, beliau hanya ingin aku segera
menyelesaikan studiku dan secepatnya bekerja, membantu meringankan beban yang
harus dipikulnya.
Kini
keinginan Apak terwujud, aku telah
menyelesaikan studiku sesuai dengan janjiku. Hanya empat tahun dengan gelar
strata-1. Namun, bukan Rahman namanya jika puas hanya dengan gelar tersebut.
Bukan, bukan sekadar gelar yang aku kejar. Ada hal lain yang lebih aku
inginkan.
Rasa
lelah masih merasuki seluruh bagian persendianku. Namun, kurasa terlelap tiga
puluh menit sudah cukup membalas rasa letih di perjalanan selama 12 jam dengan
sepeda motor matic kesayanganku dari
Banda Aceh menuju desa kelahiranku, Durian Kawan. Tak ada kereta yang dapat
mengantarkanku ke desa ini, tidak juga bis, atau angkot, yang ada hanya mobil
L300. Biasanya digunakan untuk mengangkut sayur hasil tani penduduk di
daerahku.
“Apa
dengan gelar S1 saja kamu tidak bisa langsung bekerja?” suara Apak mengawali percakapan di ruang tamu.
Aku
menghela nafas panjang. Sudah begitu sering aku perdebatkan masalah ini dengan Apak. Keinginanku melanjutkan
pendidikanku ke Strata-2 di Jakarta.
“Apa
yang ingin kamu kejar di Jakarta Man, kenapa tak di sini saja?” tanya Apak lagi. “Kamu kan bisa menerima
tawaran Pak Matsum untuk menggantikan dia menjabat menjadi kepala desa, yang
sebentar lagi akan pensiun itu. Cukuplah itu, tak perlu kamu sekolah lagi, di
Jakarta pula.”
“Tidak
cukup hanya itu, Apak. Rahman ingin
lebih dari itu, kalau menjadi kepala desa tidak akan mampu memperbaiki
kehidupan di sini. Kepala desa itu harus menurut pada pimpinan di atasnya.
Percaya pada Rahman, nantinya Rahman akan kembali ke desa ini dalam bentuk apa
pun. Rahman mencintai desa ini.”
Rasanya,
ini kesekian kalinya aku menjelaskan alasanku dan berusaha membujuk Apak dengan kata-kata yang sama. Aku
tidak akan pernah menyerah untuk mendapatkan restunya melanjutkan kuliah di
Jakarta.
Kulihat
Apak membisu. Kepulan asap tembakau
yang dibakar mengepul dari mulutnya. Kerutan di wajahnya cukup menyiratkan dia
telah puas mengecap pahitnya kehidupan yang harus dijalaninya, membesarkan
tujuh orang anak dengan sawah menjadi tumpuannya.
“Sudahlah
Pak, biarkan saja Rahman melanjutkan
sekolahnya, Mak percaya dia bisa
memperbaiki desa ini nantinya. Apalagi, kan kita tidak perlu mengeluarkan biaya
untuk sekolahnya di Jakarta.” Mak masuk
membawa dua gelas teh hangat berusaha menengahi perdebatan aku dan Apak.
Apak masih
diam tak bergeming.
***
Kulangkahkan
kaki menuju saluran irigasi, kulihat adik kecilku nomor dua, Munawir sedang
asyik bersama teman-temannya bermain bede
buluh di halaman depan rumah. Sudah lama sekali aku tak memainkan bede buluh. Mainan khas dari daerahku,
kecamatan Kluwet Timur. Bentuknya
seperti tembakan yang terbuat dari bambu dengan diameter kurang dari satu
centimeter dan amunisinya berupa bunga jambu, atau kertas yang sudah dibasahi
dengan air. Mainnya lebih seru beregu, sambil bersembunyi di balik pepohonan,
asik sekali. Dulu, selagi kecil aku suka memainkannya bersama Indra dan Evan.
Sekarang di sekitar kosku di daerah Banda, tak lagi dapat kujumpai anak-anak
seusia mereka memainkan mainan ini.
Mungkin,
dua tahun lagi baru aku akan kembali ke sini. Untuk itu, aku ingin menikmati
udara segar desa ini. Di Banda, tak dapat kurasakan udara sesegar ini di
Jakarta nantinya pun tak akan kurasakan udara sesegar ini. Apalagi, posisi
rumahku yang berada di ujung jalan dan berhadapan langsung dengan persawahan.
Sayangnya, saat ini bukan pemandangan pagi
yang sedang menghijau yang terhampar di hadapanku, hanya hamparan tanah
kosong tak berisi. Akhir dari penglihatan mata adalah gunung Batu Ampar, kalau
tidak salah Apak pernah mengatakan nama desa di lereng
gunung tersebut Tanaoh Munggu, masih masuk dalam kecamatan Kluwet Timur.
Pada
bulan seperti ini, pagi masih dalam
proses pembibitan. Dalam satu tahun, petani hanya mampu sekali memamen pagi mereka. ini dikarenakan oleh
irigasi Payo Dapur yang rusak. Jika
saja irigasi tersebut baik-baik saja, petani bisa dua kali panen dalam setahun.
Namun sayangnya, irigasi yang telah rusak selama lebih dari satu dekade
tersebut tak kunjung ada perhatian yang serius. Padahal, sudah ada anggaran
untuk perbaikan irigasi tersebut dari APBA tahun 2003 dan APBA tahun 2008.
Tapi, hingga kini tak kunjung terealisasi. Dan ini satu dari sekian banyak
keinginanku. Merealisasikannya.
Sebenarnya,
tidak hanya pagi yang menjadi hasil
panen dari Desa Durian Kawan, ada juga jagung, kakao (coklat), lado (cabai), acom (jeruk nipis), galuh (pisang) dan masih ada beberapa lainnya.
“Hey
Man, bagaimana kabarmu? Tumben mudik bulan segini? Sudah selesaikah kuliahmu?”
tanya Evan dengan semangatnya menyapaku.
Aku
tersenyum melihatnya. Dia tetap Evan teman kecilku, selalu menyambutku dengan
ramah setiap kali aku kembali ke sini. Tubuhnya semakin berisi saja, di tempa
oleh teriknya sinar surya. Dia tak seberuntung aku, hidupnya diabadikannya di
desa ini. Meneruskan pekerjaan kedua orang tuanya.
“Seperti
yang pernah kuceritakan kawan, seandainya irigasi ini dapat diperbaiki lagi,
maka kita bisa membantu ekonomi petani di sini, kamu lihat sendiri bagaimana
kondisi mereka saat ini. Curah hujan menjadi satu-satunya tumpuan mereka.”
“Ya,
aku mengerti Van. Banyak oknum yang bermain di belakang anggaran dana untuk
pembuatan saluran irigasi ini.”
“Iya
kawan, kami sudah pasrah saja sekarang ini. Berharap pemerintah pusat
mendapatkan mukjizat untuk berbaik hati kepada kami.”
Aku
tergugah. Ingat perdebatanku dengan Apak kemarin
sore. Mataku menatap lurus ke arah pintu irigasi yang telah rusak akibat
terjangan banjir yang begitu deras. Sejak Aceh memperoleh status Otonomi Khusus
dan diperkuat oleh Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), wilayah Kluet pun pecah menjadi lima yaitu, Kluet
Utara (Kota Fajar), Kluet Selatan (Kandang), Kluet Tengah (Menggamat), Kluet
Timur (Payo Dapur) dan Kluet Barat (Pasieraja).
Pemekaran wilayah
yang diharapkan pemerintah untuk membuat masing-masing daerah semakin
berkembang justru berakibat sebaliknya. Suku kluwet menjadi terpecah belah,
bahkan muncul konflik baru.
Pasieraja misalnya,
karena tidak ada masyarakat Pasieraja yang berbahasa ibu bahasa Kluwat,
orang-orang di sana terkesan tidak mengakui wilayahnya sebagai wilayah Kluet.
Bahkan, tersebar isu, jika dipaksakan wilayah Pasieraja dengan nama Kluet
Barat, masyarakat akan meminta wilayahnya dimasukkan ke Kecamatan Tapaktuan
saja. Karena itu, plang nama kantor camat wilayah ini dengan jelas ditulis
“Camat Kecamatan Pasieraja”, bukan “Camat Kecamatan Kluet Barat dengan Ibukota
Pasieraja”. Sementara Kluet Timur sendiri, daerahku kekurangan air untuk
keperluan irigasi.
“Oh ya kawan, kamu
belum menjawab, bagaimana kuliahmu? Sudah selesai?” tanyanya menghentikan
lamunanku.
“Alhamdulillah
sudah Van, aku mau melanjutkan ke Jakarta. Seperti yang telah kujanjikan. Aku
ingin mengabdikan hidupku untuk desa ini.”
“Bagaimana dengan Apak kamu? Sudah mengijinkan?”
“Tidak ada jawaban
Van, Apak hanya diam kemarin sore.”
“Aku percaya kamu
mampu kawan, kalau bukan kita sendiri siapa lagi yang akan memperbaiki desa
ini. Pemerintah tak bisa banyak diharapkan.”
“Ya Van, aku akan
memimpin Kluet Timur beberapa tahun lagi. Doakan saja,”
***
Aku merajut mimpi ini sejak aku
duduk di bangku SMA. Mimpi membangun desaku, melihat air kembali mengalir dari
pintu irigasi Payo Dapur. Di Jakarta aku akan melanjutkan rintisan karirku dari
Banda. Beasiswa S2 di Jakarta membuat jalanku terbuka lebar, hanya tinggal
menunggu restu Apak saja. Tapi,
tampaknya begitu berat, meski Mak
sudah mengijinkan.
“Pergilah, Apak cuma butuh waktu untuk memahami maksud kamu.” Ujar Mak meyakinkanku.
Kulihat Apak berdiri di sudut beranda rumah menghadap ke arah sawah. Aku
tak mengerti apa yang tengah dipikirkannya sekarang. Bagaimana mungkin aku
pergi tanpa seijin beliau. Ada ragu menyelinap di hati.
“Pak,,,”
panggilku pelan
Dia menoleh, sungguh aku tak sanggup
menatapnya. Kutundukkan wajahku dalam-dalam. Aku takut membuatnya kecewa dengan
keputusanku yang akan tetap ke Jakarta meski tanpa izinnya.
Sebuah tepukan mendarat di pundakku.
“Pergilah, lakukan apa yang kamu impikan, lalu kembalilah lagi ke sini. Buat penduduk
sini bangga punya kamu.”
Inna mal ‘amalu bin niyat.
TAMAT
Palembang, 09 April
2013
Khadijah Anwar.
Juara I Lomba Cerpen Milad KAMMI di IAIN RF Palembang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
kata-kata yang baik, mencerminkan pribadi seseorang.