Minggu, 27 April 2014

Cerpen : KLUET

 KLUET
“Kapan kamu wisuda, Man?”
Pertanyaan itu diajukan Apak  satu tahun yang lalu. Saat aku masih di semester ke enam perkuliahanku. Baru tiga perempat jalan dari waktu yang seharusnya kutempuh. Kupahami bagaimana maksud dan keinginan Apak, beliau hanya ingin aku segera menyelesaikan studiku dan secepatnya bekerja, membantu meringankan beban yang harus dipikulnya.
Kini keinginan Apak terwujud, aku telah menyelesaikan studiku sesuai dengan janjiku. Hanya empat tahun dengan gelar strata-1. Namun, bukan Rahman namanya jika puas hanya dengan gelar tersebut. Bukan, bukan sekadar gelar yang aku kejar. Ada hal lain yang lebih aku inginkan.
Rasa lelah masih merasuki seluruh bagian persendianku. Namun, kurasa terlelap tiga puluh menit sudah cukup membalas rasa letih di perjalanan selama 12 jam dengan sepeda motor matic kesayanganku dari Banda Aceh menuju desa kelahiranku, Durian Kawan. Tak ada kereta yang dapat mengantarkanku ke desa ini, tidak juga bis, atau angkot, yang ada hanya mobil L300. Biasanya digunakan untuk mengangkut sayur hasil tani penduduk di daerahku.
“Apa dengan gelar S1 saja kamu tidak bisa langsung bekerja?” suara Apak mengawali percakapan di ruang tamu.
Aku menghela nafas panjang. Sudah begitu sering aku perdebatkan masalah ini dengan Apak. Keinginanku melanjutkan pendidikanku ke Strata-2 di Jakarta.
“Apa yang ingin kamu kejar di Jakarta Man, kenapa tak di sini saja?” tanya Apak lagi. “Kamu kan bisa menerima tawaran Pak Matsum untuk menggantikan dia menjabat menjadi kepala desa, yang sebentar lagi akan pensiun itu. Cukuplah itu, tak perlu kamu sekolah lagi, di Jakarta pula.”
“Tidak cukup hanya itu, Apak. Rahman ingin lebih dari itu, kalau menjadi kepala desa tidak akan mampu memperbaiki kehidupan di sini. Kepala desa itu harus menurut pada pimpinan di atasnya. Percaya pada Rahman, nantinya Rahman akan kembali ke desa ini dalam bentuk apa pun. Rahman mencintai desa ini.”
Rasanya, ini kesekian kalinya aku menjelaskan alasanku dan berusaha membujuk Apak dengan kata-kata yang sama. Aku tidak akan pernah menyerah untuk mendapatkan restunya melanjutkan kuliah di Jakarta.
Kulihat Apak membisu. Kepulan asap tembakau yang dibakar mengepul dari mulutnya. Kerutan di wajahnya cukup menyiratkan dia telah puas mengecap pahitnya kehidupan yang harus dijalaninya, membesarkan tujuh orang anak dengan sawah menjadi tumpuannya.
“Sudahlah Pak, biarkan saja Rahman melanjutkan sekolahnya, Mak percaya dia bisa memperbaiki desa ini nantinya. Apalagi, kan kita tidak perlu mengeluarkan biaya untuk sekolahnya di Jakarta.” Mak masuk membawa dua gelas teh hangat berusaha menengahi perdebatan aku dan Apak.
Apak masih diam tak bergeming.
***
Kulangkahkan kaki menuju saluran irigasi, kulihat adik kecilku nomor dua, Munawir sedang asyik bersama teman-temannya bermain bede buluh di halaman depan rumah. Sudah lama sekali aku tak memainkan bede buluh. Mainan khas dari daerahku, kecamatan Kluwet Timur.  Bentuknya seperti tembakan yang terbuat dari bambu dengan diameter kurang dari satu centimeter dan amunisinya berupa bunga jambu, atau kertas yang sudah dibasahi dengan air. Mainnya lebih seru beregu, sambil bersembunyi di balik pepohonan, asik sekali. Dulu, selagi kecil aku suka memainkannya bersama Indra dan Evan. Sekarang di sekitar kosku di daerah Banda, tak lagi dapat kujumpai anak-anak seusia mereka memainkan mainan ini.
Mungkin, dua tahun lagi baru aku akan kembali ke sini. Untuk itu, aku ingin menikmati udara segar desa ini. Di Banda, tak dapat kurasakan udara sesegar ini di Jakarta nantinya pun tak akan kurasakan udara sesegar ini. Apalagi, posisi rumahku yang berada di ujung jalan dan berhadapan langsung dengan persawahan. Sayangnya, saat ini bukan pemandangan pagi yang sedang menghijau yang terhampar di hadapanku, hanya hamparan tanah kosong tak berisi. Akhir dari penglihatan mata adalah gunung Batu Ampar, kalau tidak salah Apak  pernah mengatakan nama desa di lereng gunung tersebut Tanaoh Munggu, masih masuk dalam kecamatan Kluwet Timur.
Pada bulan seperti ini, pagi masih dalam proses pembibitan. Dalam satu tahun, petani hanya mampu sekali memamen pagi mereka. ini dikarenakan oleh irigasi Payo Dapur yang rusak. Jika saja irigasi tersebut baik-baik saja, petani bisa dua kali panen dalam setahun. Namun sayangnya, irigasi yang telah rusak selama lebih dari satu dekade tersebut tak kunjung ada perhatian yang serius. Padahal, sudah ada anggaran untuk perbaikan irigasi tersebut dari APBA tahun 2003 dan APBA tahun 2008. Tapi, hingga kini tak kunjung terealisasi. Dan ini satu dari sekian banyak keinginanku. Merealisasikannya.
Sebenarnya, tidak hanya pagi yang menjadi hasil panen dari Desa Durian Kawan, ada juga jagung, kakao (coklat), lado (cabai), acom (jeruk nipis), galuh (pisang) dan masih ada beberapa lainnya.
“Hey Man, bagaimana kabarmu? Tumben mudik bulan segini? Sudah selesaikah kuliahmu?” tanya Evan dengan semangatnya menyapaku.
Aku tersenyum melihatnya. Dia tetap Evan teman kecilku, selalu menyambutku dengan ramah setiap kali aku kembali ke sini. Tubuhnya semakin berisi saja, di tempa oleh teriknya sinar surya. Dia tak seberuntung aku, hidupnya diabadikannya di desa ini. Meneruskan pekerjaan kedua orang tuanya.
“Seperti yang pernah kuceritakan kawan, seandainya irigasi ini dapat diperbaiki lagi, maka kita bisa membantu ekonomi petani di sini, kamu lihat sendiri bagaimana kondisi mereka saat ini. Curah hujan menjadi satu-satunya tumpuan mereka.”
“Ya, aku mengerti Van. Banyak oknum yang bermain di belakang anggaran dana untuk pembuatan saluran irigasi ini.”
“Iya kawan, kami sudah pasrah saja sekarang ini. Berharap pemerintah pusat mendapatkan mukjizat untuk berbaik hati kepada kami.”
Aku tergugah. Ingat perdebatanku dengan Apak kemarin sore. Mataku menatap lurus ke arah pintu irigasi yang telah rusak akibat terjangan banjir yang begitu deras. Sejak Aceh memperoleh status Otonomi Khusus dan diperkuat oleh Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), wilayah Kluet pun pecah menjadi lima yaitu, Kluet Utara (Kota Fajar), Kluet Selatan (Kandang), Kluet Tengah (Menggamat), Kluet Timur (Payo Dapur) dan Kluet Barat (Pasieraja).
Pemekaran wilayah yang diharapkan pemerintah untuk membuat masing-masing daerah semakin berkembang justru berakibat sebaliknya. Suku kluwet menjadi terpecah belah, bahkan muncul konflik baru.
Pasieraja misalnya, karena tidak ada masyarakat Pasieraja yang berbahasa ibu bahasa Kluwat, orang-orang di sana terkesan tidak mengakui wilayahnya sebagai wilayah Kluet. Bahkan, tersebar isu, jika dipaksakan wilayah Pasieraja dengan nama Kluet Barat, masyarakat akan meminta wilayahnya dimasukkan ke Kecamatan Tapaktuan saja. Karena itu, plang nama kantor camat wilayah ini dengan jelas ditulis “Camat Kecamatan Pasieraja”, bukan “Camat Kecamatan Kluet Barat dengan Ibukota Pasieraja”. Sementara Kluet Timur sendiri, daerahku kekurangan air untuk keperluan irigasi.
“Oh ya kawan, kamu belum menjawab, bagaimana kuliahmu? Sudah selesai?” tanyanya menghentikan lamunanku.
“Alhamdulillah sudah Van, aku mau melanjutkan ke Jakarta. Seperti yang telah kujanjikan. Aku ingin mengabdikan hidupku untuk desa ini.”
“Bagaimana dengan Apak kamu? Sudah mengijinkan?”
“Tidak ada jawaban Van, Apak hanya diam kemarin sore.”
“Aku percaya kamu mampu kawan, kalau bukan kita sendiri siapa lagi yang akan memperbaiki desa ini. Pemerintah tak bisa banyak diharapkan.”
“Ya Van, aku akan memimpin Kluet Timur beberapa tahun lagi. Doakan saja,”
***
            Aku merajut mimpi ini sejak aku duduk di bangku SMA. Mimpi membangun desaku, melihat air kembali mengalir dari pintu irigasi Payo Dapur. Di Jakarta aku akan melanjutkan rintisan karirku dari Banda. Beasiswa S2 di Jakarta membuat jalanku terbuka lebar, hanya tinggal menunggu restu Apak saja. Tapi, tampaknya begitu berat, meski Mak sudah mengijinkan.
            “Pergilah, Apak cuma butuh waktu untuk memahami maksud kamu.” Ujar Mak meyakinkanku.
            Kulihat Apak berdiri di sudut beranda rumah menghadap ke arah sawah. Aku tak mengerti apa yang tengah dipikirkannya sekarang. Bagaimana mungkin aku pergi tanpa seijin beliau. Ada ragu menyelinap di hati.
            “Pak,,,” panggilku pelan
            Dia menoleh, sungguh aku tak sanggup menatapnya. Kutundukkan wajahku dalam-dalam. Aku takut membuatnya kecewa dengan keputusanku yang akan tetap ke Jakarta meski tanpa izinnya.
            Sebuah tepukan mendarat di pundakku. “Pergilah, lakukan apa yang kamu impikan, lalu kembalilah lagi ke sini. Buat penduduk sini bangga punya kamu.”
Inna mal ‘amalu bin niyat.
TAMAT
Palembang, 09 April 2013
Khadijah Anwar.
Juara I Lomba Cerpen Milad KAMMI  di IAIN RF Palembang