Senin, 26 Januari 2015

Janji di Persimpangan Senja

"Yang jelas, kalau aku tidak bersamamu, aku tidak akan mungkin menikah dengannya. Aku rasa itu sudah cukup jelas. Beri aku waktu hingga akhir bulan ini untuk menyelesaikan semua dengannya."
"Kamu yakin kita akan bersama?"
"Aku yakin."
"Bagaimana kalau kamu ingkar?"
"Apa yang kamu inginkan terjadi padaku?" 
"Kamu tidak akan punya keturunan!"
"Oke, kalau kita tidak bersama, biarlah aku tidak punya keturunan kalau itu karena aku, begitu pun sebaliknya." Janjimu di persimpangan senja itu.


Aku percaya pada janji yang kau ucapkan senja itu. Sangat percaya bahkan ketika jelas-jelas kutahu ada orang ketiga di tengah hubungan kita, kutepis semua keraguan yang menghantuiku. Aku kenal bagaimana kamu. 
Tapi, kenyataan tak seperti apa yang kau janjikan ternyata. Kau memutar balikkan fakta saat ada di hadapannya. Luka yang belum sembuh itu seperti kembali tersiram air garam, sedikit demi sedikit tapi membuat perih. 

"Kamu tahu, dia lagi sakit. Kalau aku langsung bilang semuanya. Dia pasti makin drop."
                        
Ah, aku benci terlihat kuat di mata kalian. Tidak tahukah kamu apa yang aku rasakan untuk setiap pengakuan yang dibuatnya. Tidak pahamkah kamu bagaimana menjadi aku.
Dia menganggap seolah aku yang merebut kamu dari dia, padahal jelas-jelas dia yang merebut kamu dari aku. Dia bicara seolah aku tidak terluka. Aku terluka. Jauh lebih terluka dari apa yang dirasakannya. Bedanya, aku jauh lebih tenang menyikapi ini. Karena aku berusaha mengerti apa yang kamu rasakan.

"Ibunya bilang, Kak Bastian tidak akan mungkin bersama kamu karena orang tua kamu sudah merendahkan mereka. Aku juga tahu kalau kamu dan dia tidak disetujui orang tuamu. Jalan kalian untuk bersama terlalu sulit. Kamu sarjana, sementara dia apa." Akunya petang kemarin.

Aku bisa terima kalau kalian hanya bicara buruk tentangku. Tapi, aku tidak rela ketika orang tuaku kalian libatkan dalam masalah ini. Bahkan sampai menilai orang tuaku seburuk itu. Aku pikir, apa yang mereka khawatirkan wajar. Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya bahagia. Hanya saja, mereka butuh keyakinanku untuk tetap bersama kamu. Dan aku yakin bahwa aku bisa meyakinkan mereka.

"Kenapa orang tua kamu tega mengatakan keluargaku seburuk itu? Orang tuaku tidak tahu menahu masalah ini. Tapi kenapa mereka dilibatkan. Aku tidak suka, salah apa aku sama Ibu dan Bapakmu."
"Harusnya, kamu lebih percaya aku dari pada dia. Mana mungkin Orang tuaku ngomong seperti itu, bukankah kamu sendiri tahu bahwa kamu yang diberi mereka cincin. Bukan dia. Itu sudah cukup jelas kan membuktikan bahwa mereka mencintai kamu."

Sejujurnya, aku telah menganggap kalian sebagai bagian keluargaku. Berjodoh atau tidak nantinya kita, aku tetap menganggap mereka keluargaku. Kalau dipikir dengan logika rasanya tidak mungkin orang tuamu tidak menyukaiku, karena di depanku mereka begitu manis, begitu menyayangi aku. Tapi, bagaimana mungkin dia bisa tahu semuanya kalau bukan orang tuamu yang ngomong langsung. Aku pusing dengan pikiran-pikiran ini. Sementara kamu hanya bisa diam seribu bahasa. Membiarkan aku larut dalam pikiran-pikiranku sendiri. Salahku terlalu terbawa emosi dan perasaanku kemarin malam, hingga sekarang semua berantakan.

Sekarang, aku mengerti bagaimana perasaanmu yang sesungguhnya. Setelah mendengar caramu bicara di telpon saat di depanku dan bicara ditelpon dengannya. Kamu sepertiku. Posisi kita sama sekarang. Apa yang kamu rasakan mungkin sama seperti yang aku rasakan.

Satu sisi, kamu merasa lebih mencintaiku, tapi kamu harus mendapati kenyataan bahwa aku tidak hanya milikmu saat ini, meski hatiku bersamamu. Sisi lain, kamu hanya menganggapnya pelarian, tapi kamu tidak tega membiarkan dia terluka karena dia telah mengorbankan segalanya untukmu. Untuk itu kamu masih berusaha menjaga perasaannya. Sama, itu yang tengah aku rasakan sekarang. Aku tahu, kamu ingin bersamaku, aku pun ingin bersamamu. 

"Semua sudah selesai. Kamu silahkan melangkah sendiri dengan hidupmu dan aku ingin melangkah tanpa kamu. Aku yakin dengan keputusanku sekarang. Kita sebatas hubungan keluarga, tidak lebih." Tegasmu.

Kamu begitu tegas mengucapkan kalimat itu, tidak terdengar keraguan sedikitpun dari mulutmu. Hufft...

Aku menghela nafas panjang, mencoba berpikir lebih jernih. Mencoba menerima apa yang baru saja kau katakan. Terlalu sulit. Aku masih berusaha menghubungimu. Namun sayang, nomormu sudah tidak aktif. Sepertinya, kamu benar-benar tidak ingin kita bersama lagi. Benarkah seperti itu?

Lalu bagaimana dengan janjimu senja itu di persimpangan? Lalu bagaimana dengan janji-janji dan sumpah yang kau utarakan selama ini? Semu belaka kah semua ?

Ah, kalau begini kamu tidak lebih baik darinya. Aku mengorbankan banyak waktuku hanya untuk kamu, pikiranku untuk kamu, bahkan mengorbankan mimpi S-2ku di luar Indonesia hanya untuk kamu. Tapi kenyataannya tidak sedikitpun kamu menghargai apa yang telah aku lakukan.

Meski, aku sadari bahwa apa yang terjadi sekarang aku ada andil di dalamnya, bahkan perselingkuhanmu pun aku tahu karena aku yang membuatmu menjadi selingkuh. Aku hanya ingin memahami apa yang sedang kamu pikirkan. Aku tahu kamu terluka. Meski sebenarnya kamu tegas melepasku. Kamu terluka.
Sama seperti yang aku rasakan saat ini.

Haruskah aku memintamu untuk tetap bersamaku, sementara kau sudah dengan tegas melepasku? Hmmm,,, Aku akan berusaha semampuku. Jika pun akhirnya kamu benar-benar menghilang dariku dan pergi, biarlah kau bawa sendiri janji-janji dan sumpah palsu yang telah banyak kau bagi.

Aku mencintaimu, aku masih berharap bisa bersamamu, aku masih berharap kau tiba-tiba datang dan mengatakan bahwa apa yang kau katakan itu hanya emosi sesaat. Aku masih berharap keajaiban seperti yang diutarakan Ibumu sore itu. Meski sangat kusadari, semua tidak semudah itu.

Tuhan, kutitipkan dia pada sebaik-baik penjagaanMu.
Tuhan, buatlah dia mengerti sebagaimana aku mengertinya tentang semua ini dengam cara terbaikmu.
Tuhan, kutitipkan sekeping hati ini padaMu,
Tuhan, kupercayakan semua padaMu akan Kau berikan pada siapa hati yang rapuh ini.
Tuhan,,, Akan kubuktikan janjiku padanya di persimpangan senja itu.

Janji di Persimpangan Senja, 26 Januari 2015
^Khadijah Anwar^

3 komentar:

  1. keren mba deka :)

    jgn lupa kunjungan balik ya diblog saya

    BalasHapus
  2. http://puisidancerpenmastinakurma.blogspot.com/

    BalasHapus
  3. Ini cerita real atau fiksi Mbak Deka? :)

    BalasHapus

kata-kata yang baik, mencerminkan pribadi seseorang.