Kamis, 30 Juni 2016

Analisis Dasar Penelitian Agama Mukti Ali

TEORI DASAR PENELITIAN AGAMA: “PENELITIAN AGAMA DI INDONESIA”, MUKTI ALI (DALAM BUKU “PENELITIAN AGAMA OLEH MULYANTO SUMARDI")
Oleh : Eka Hardiyanti

A.  Latar Belakang Masalah
Penelitian Agama sudah dilakukan beberapa abad yang lalu namun hasil penelitiannya masih dalam bentuk aktual atau perbuatan saja belum dijadikan sebagai ilmu. Setelah bertambahnya gejala-gejala agama yang berbentuk sosial dan budaya, ternyata penelitian dapat dijadikan sebagai ilmu yang khusus dalam rangka menyelidiki gejala-gejala agama tersebut.

Perkembangan penelitian Agama pada saat ini sangatlah pesat karena tuntutan-tuntutan kehidupan sosial yang selalu mengalami perubahan. Kajian-kajian agama memerlukan relevansi dari kehidupan sosial berlangsung, permasalahan-permasalahan seperti inilah yang mendasari perkembangan penelitian-penelitian Agama guna mencari relevansi kehidupan sosial dan agama.
Dewasa ini penelitian Agama diisi dengan penjelasan mengenai kedudukan penelitian Agama dalam konteks penelitian pada umumnya, elaborasi mengenai penelitian Agama dan penelitian keagamaan dan konstruksi teori penelitian keagamaan
Sebenarnya masih banyak persoalan mendasar yang harus digarap dalam penelitian agama. Tetapi sebagai latar belakang persoalan pokok untuk saat ini ialah : sejauh mana ilmu-ilmu sosial dapat membantu untuk membentuk penelitian agama semacam ini? Sejauh mana sudah ada pendekatan-pendekatan dan metode-metode yang dapat diterapkan dalam lapangan agama. Harus diakui bahwa pengetahuan tentang agama Islam di Indonesia tidak mengalami perkembangan yang berarti dibanding dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, baik sistem budaya maupun sistem sosial.
Penelitian keagamaan itu diharapkan akan diketahui bagaimana perwujudan sosial dan kultural agama Islam, juga agama-agama lain dalam masyarakat Indonesia yang bermacam-macam itu, dan sejauh mana kebudayaan setempat ikut mewarnai perwujudan sosial dan kultural agama Islam tersebut, dan agama-agama lain di Indonesia.
Mattulada menyatakan dalam tulisannya yang berjudul Penelitian Berbagai Aspek Keagamaan dan Kehidupan Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia dalam bukunya Sumardi, setuju dengan keterangan Prof. Dr. K.H. Mukti Ali bahwa penelitian agama belum mendapatkan tempat yang sewajarnya dalam dunia ilmu pengetahuan, juga di Indonesia ini. Orang belum mengetahui caranya, kalau ia harus meneliti agama itu. Ahli-ahli pengetahuan sosial dalam meneliti agama ini, lebih banyak menekankan pada aspek-aspek sosialnya dan melihat agama sebagai suatu yang timbul dari pergaulan sesama manusia . Cara seperti itu banyak dipergunakan oleh ahli sosiologi atau ahli antropologi sosial dalam meneliti agama itu.[1]
Untuk menunjang pelaksanaan usaha-usaha itu diperlukan penelitian agama dan keagamaan dalam berbagai aspeknya untuk mendapatkan data-data otentik guna dijadikan bahan penyusunan konsepsi-konsepsi pengembangan dan pembinaan, serta penyusunan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang keagamaan.
Mulyanto Sumardi menyatakan pada buku berjudul Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran bahwa sejak Badan Penelitian dan Pengembangan Agama dibentuk pada tahun 1975, salah satu di antara sekian topik yang muncul adalah masalah “metodologi penelitian agama”. Serangkaian pertemuan telah diselenggarakan oleh Badan Litbang Agama untuk membicarakan persoalan ini, dan hasilnya adalah para ahli mempunyai dua pendapat yang berbeda untuk memecahkan masalah tersebut. Pertama, menyatakan bahwa perlu dibangun suatu metodologi penelitian agama yang khas, sekalipun hal ini harus mengambil unsur-unsur dari disiplin-disiplin terdekat.
Kedua, mereka yang berpandangan bahwa dalam penelitian agama tidak perlu membangun metode baru. Sebagaimana yang telah berjalan selama ini, para ahli bisa melakukan penelitian agama dengan cara memanfaatkan pengetahuan serta metode dari berbagai disiplin (interdisipliner atau multidisipliner), khususnya dari dua disiplin terdekat, yakni ilmu-ilmu sosial dan pengetahuan budaya.
Begitulah bagi para peneliti dari disiplin yang lain, mereka tetap akan melihat gejala keagamaan sesuai dengan sudut dan konsep disiplinnya masing-masing. Walaupun mereka memiliki suatu disiplin, namun itu tidak berarti mereka harus terpaku dalam disiplin itu sendiri, sebab bagaimanapun juga para peneliti dituntut untuk memiliki kepekaan teoritis lebih dari sekedar pendekatan empiris semata-mata, Pada garis besarnya pihak kedua ini berpendapat bahwa dalam penelitian agama tidak perlu dibangun suatu metodologi tersendiri, akan tetapi cukup dengan memanfaatkan berbagai disiplin yang ada, sesuai dengan segi dan masalah keagamaan yang hendak diteliti.[2]
B.  Rumusan Permasalahan
Berdasarkan dasar latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi fokus permasalahan dalam makalah ini adalah: Bagaimana Metode Penelitian Agama Menurut Perspektif Mukti Ali?
C.  Kajian Pustaka
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui penelitian agama di Indonesia. Setelah penulis mengadakan penelitian secara teratur, ada beberapa karya berupa jurnal yang berkaitan dengan penelitian agama di Indonedia, antara lain sebagai berikut:
Irzum Farihah, S.Ag., M.Si., Religiusitas Anak Jalanan di Kampung Argopuro Desa Hadipolo Kabupaten Kudus”. Permasalahan yang diteliti dalam jurnal ini kerasnya kehidupan anak jalanan yang menghabiskan waktu di jalan sehingga banyak dari mereka yang lalai dalam melaksanakan ajaran agamanya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode deskriptif, dengan  teori tentang religiusitas dan kehidupan beragama. Hasil dari penelitian di lapangan bahwa ternyata anak-anak jalanan di kampung Argopuro meskipun sudah banyak mengetahui aturan agama dalam beribadah, khususnya ngaji, shalat dan puasa yang mereka dapatkan melalui TPQ, ngaji malam, kegiatan keagamaan lainnya, ternyata tingkat religiusitas anak-anak masih rendah, hal ini bisa dilihat dari pelaksanaan shalat mereka yang hanya dilakukan di Mushalla saja, sedangkan di rumah dan ketika di jalanan mereka masih meninggalkan shalat.[3]
   Fathul Mufid, “Epistemologi Mulla Sadra (Kajian Tentang Ilmu Husuli dan Ilmu Huduri)”. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah perbedaan paradigma yang menimbulkan perbedaan konsep epistemologi yang berujung pada klaim kebenaran (truth clim), sehingga terjadi polemik berkepanjangan. Suasana polemik epistemologi inilah yang ditemui Mulla Sadra dalam petualangan karir intelektualnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian library research, dengan menggunakan teori tentang epistemologis.
Temuan penelitian ini adalah, bahwa ada tujuh wacana pemikiran sebelum-nya yang melatarbelakangi filsafat Mulla Sadra, yakni; pemikiran tradisional-normatif, pemikiran klasik Yunani-Romawi, pemikiran Kalam, pemikiran filsafat Paripatetik, tasawuf al-Gazali, filsafat Iluminasi, dan ‘irfan Ibn ‘Arabi. Epistemologi Mulla Sadra bertumpu kepada tujuh prinsip pemikiran yang merupakan landasan seluruh pemikiran filsafatnya, yaitu; prinsip fundamentalitas wujud, gradasi wujud, kotinuitas wujud, wujud mental, gerak substansial, kesatuan subjek dan objek pengetahuan, dan alam imajinal. Ilmu Husuli menurut Mulla Sadra adalah pengetahuan yang didapat berdasarkan proses korespondensi atau konsepsi yang terjadi antara subjek internal dengan objek eksternal, sehingga keduanya merupakan eksistensi independen yang berbeda satu sama lain. Sementara ilmu Huduri diperoleh secara langsung dari Tuhan tanpa adanya pemisahan dua objek internal dan eksternal, sehingga ia terbebas dari dualisme kebenaran dan kesalahan. Tipologi filsafat Mulla Sadra adalah tipe “hikmah”, yaitu pemaduan antara visi rasional dengan visi mistik, yang kemudian diselaraskan dengan syari’ah.[4]
   Muhammad Mustaqim, Pergulatan Pemikiran Islam di Ruang Publik Maya (Analisis Terhadap Tiga Website Organisasi Islam di Indonesia). Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah kecenderungan pergulatan pemikiran islam pada ruang publik maya, melalui website resmi masing-masing organisasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dan teori yang berkaitan dengan ruang publik.
Hasil dari penelitian ini adalah Internet sebagai ruang publik maya di manfaatkan oleh berberapa organisasi islam dalam mempromosikan kepentingan organisasi masing-masing. Perbedaan ideologi dan kepentingan antar organisasi ini terkadang melahirkan pertrungan pemikiran secara tidak langsung, atau apa yang sering disebut dengan perang pemikiran (ghozw al fikr). Tiga organisasi Islam di Indonesia, yang masing-masing mewakil poros tertentu, yakni Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Nahdlatul Ulama’ (NU) memainkan peran ruang publik maya dalam melangsungkan tujuan organisasi. Website menyimpan berbagai agenda, hegemoni, dan ruang interaksi untuk mewujudkan visi masing-masing organisasi. Pergulatan pemikiran ini dapat dinikmati oleh publik, dan publik bisa memilih mana yang relevan, cocok, dan terbaik menurut mereka.[5]
   Dari ketiga penelitian yang telah dilakukan tersebut, ketiganya termasuk dalam penelitian agama yang melibatkan berbagai disiplin ilmu.
D.  Metodelogi
Jenis pendekatan yang digunakan dalam peneliti ini adalah pendekatan kualitatif, dengan metode library research, yang dijadikan acuan pedoman pembuatan makalah ini adalah pemikiran Mukti Ali tentang penelitian agama di Indonesia dalam bukunya Mulyanto Sumardi.
Beberapa istilah penting yang ditemui dalam makalah ini adalah :
1.    Diagnose dan Prognase. Diagnose artinya melakukan pemeriksaan, sedangkan prognase artinya perkiraan terhadap hasil akhir.
2.    Hipotesis. Menurut pendapat Winarno Surrahmad bahwa: “ Hipotesis adalah sebuah kesimpulan, tetapi kesimpulan ini belum final masih harus dibuktikan kebenarannya”.[6]
3.    Antropologis artinya ilmu yang mempelajari tentang manusia, masa lalu, dan kini yang menggambarkan manusia melalui pengetahuan ilmu social dan ilmu alam dan juga humaniora.
E.  Pentingnya Penelitian Agama
Menurut Mukti Ali dalam Sumardi (1982) Penelitian agama di Indonesia adalah penting karena bangsa Indonesia adalah bangsa religius, dan masyarakat sosialistis religius. Penelitian agama adalah penting bukan saja bagi kalangan ilmuwan dan dunia ilmu pengetahuan, akan tetapi juga bagi para perencana dan pelaksana pembangunan di negeri ini. Pada firman Allah SWT Q.S. Ali Imran 190-191 :
žcÎ) Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur É#»n=ÏF÷z$#ur È@øŠ©9$# Í$pk¨]9$#ur ;M»tƒUy Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÉÈ   tûïÏ%©!$# tbrãä.õtƒ ©!$# $VJ»uŠÏ% #YŠqãèè%ur 4n?tãur öNÎgÎ/qãZã_ tbr㍤6xÿtGtƒur Îû È,ù=yz ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $uZ­/u $tB |Mø)n=yz #x»yd WxÏÜ»t/ y7oY»ysö6ß $oYÉ)sù z>#xtã Í$¨Z9$# ÇÊÒÊÈ  
Artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.”[7]

Dari ayat di atas kaitannya dengan penelitian agama/ keagamaan secara eksplisit bahwa penelitian terhadap seluruh isi alam ini akan membawa seseorang kepada kesadaran tentang adanya kekuasaan Allah SWT. Dengan kata lain bahwa penelitian tentang seluruh alam beserta isinya akan membantu memperkuat masalah keimanan terhadap ciptaan Allah SWT, yang merupakan esensi dari agama. Secara teknis ini berarti bahwa penelitian agama/keagamaan dapat menggunakan metode penelitian-penelitian lain yang ada.
Menyadari perlunya penelitian agama maka pemerintah lewat Keputusan Presiden RI No. 45 Tahun 1974 yang dijabarkan oleh Keputusan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 1975 telah membentuk Badan Penelitian dan Pengembangan Agama    pada   Departemen     Agama   yang    tugas   dan   fungsinya    antara   lain: “menyelenggarakan pembinaan semua unit-unit penelitian dan pengembangan di lingkungan Departemen Agama yang mencakup semua jenis penelitian dan pengembangan, baik yang diselenggarakan sendiri oleh Badan LITBANG maupun yang diselenggarakan oleh unsur-unsur lain dalam Departemen Agama.
Hal yang mendorong adanya penelitian agama, khususnya di Indonesia ialah adanya kesadaran umum yang kuat, bahwa kenyataan sosial dan kultural bangsa Indonesia, adalah kenyataan yang bersifat religius. Agama dan masyarakat itu ada dan saling mempengaruhi. Agama mempengaruhi jalannya masyarakat, dan selanjutnya pertumbuhan masyarakat mempengaruhi pemikiran terhadap agama. Pengaruh timbal-balik antara perkembangan masyarakat dan pertumbuhan agama merupakan kenyataan sosial budaya yang menjadi tantangan untuk dipahami seluas dan sedalam mungkin. Untuk menjawab tantangan itu, penelitian-penelitian ilmiah diperlukan penggiatannya, baik untuk kepentingan akademis maupun untuk keperluan kebijakan-kebijakan dalam pembangunan masyarakat pada umumnya.
F.   Pendekatan Bukan Barat
Deliar Noer di akhir tulisannya yang berjudul Diperlukan Pendekatan Bukan Barat terhadap Masyarakat Indonesia dalam bukunya Sumardi dkk. menyatakan bahwa sifat dalam hukum Islam bukan terbatas pada suruhan dan larangan belaka, melainkan juga yang bersifat menganjurkan (sunnah), mencegah secara lunak tetapi mengandung pengertian tidak apa-apa bila masih juga dikerjakan (makruh). Di samping empat kategori ini kita masih mengenal sifat membiarkan atau membolehkan (jaiz, mubah). Ketika membicarakan hukum masyarakat Indonesia, tampaknya penulis Barat tidak melihat kelima kategori ini. Sifat hukum mereka memang terbatas pada larangan dan suruhan. Bagi mereka, bila yang diwajibkan tidak dikerjakan, atau bila yang dilarang dikerjakan terjadilah pelanggaran, dan oleh sebab itu hukuman bisa dijatuhkan. Tiga kategori lain tidak perlu  dipusingkan.[8]
Sedangkan dalam Islam segala macam aspek hidup dibicarakan dalam hukum. Oleh karena kategori jaiz atau mubah termasuk bidang yang luas, maka sebenarnya ruang gerak bagi si Muslim sangat luas pula, termasuk bagian-bagian adat dalam masyarakat yang sungguhpun mungkin berasal dari zaman sebelum Islam dikenal, bisa saja dilanjutkan sesudah Islam masuk asalkan ia tidak bertentangan dengan pokok-pokok kaidah.
Memandang satu-satu masalah dengan pandangan atau pendekatan sedemikian, akan mempertemukan adat dengan Islam. Sudah jelas bahwa penulis- penulis Barat umumnya tidak memperhatikan ciri-ciri pokok Islam dan pengaruhnya dalam masyarakat. Penilaian mereka bersandar pada nilai-nilai yang tumbuh dalam diri mereka, dan penilaian kita seharusnya bersandar pada nilai-nilai yang tumbuh dalam diri kita.
Lebih lanjut Deliar Noer menyatakan ada dua jalan yang perlu ditempuh untuk dapat membuat kajian tentang masyarakat Indonesia. Pertama, bahwa sarjana-sarjana Indonesia perlu mengkaji esensi masyarakat Indonesia yang memang beragama Islam. Kedua, bahwa perlu menumbuh-kembangkan istilah-istilah khusus untuk menggambarkan dengan lebih tepat masyarakat yang kita bahas itu.[9]
Ronny Kountur menyatakan bahwa, penelitian berhubungan dengan usaha untuk mengetahui sesuatu. Selain itu penelitian berhubungan pula dengan usaha untuk mencari tahu jawaban atas suatu atau beberapa permasalahan. Telah dikenal dua pendekatan yang pernah digunakan oleh para ahli dalam upaya untuk mencari tahu sesuatu pengetahuan yang baru yaitu pendekatan rasional dan empiris.[10]
Pendekatan Rasional merupakan suatu cara untuk mencari tahu sesuatu pengetahuan yang baru dengan anggapan bahwa segala sesuatu yang ingin diketahui itu ada di dalam pikiran manusia (internal wisdom). Adalah kemampuan seseorang untuk berfikir, dengan menggunakan akal sehat atau rasional, untuk menemukan pengetahuan tersebut dari pikirannya. Dengan kata lain, menurut pendekatan rasional, pengetahuan dimulai dari suatu gagasan atau pikiran yang didasarkan atas kebijaksanaan yang dimilki seseorang.
Menurut pendekatan empiris pengetahuan diperoleh dari hasil pengamatan terhadap fenomena yang terjadi (external process). Jawaban atas suatu permasalahan ada pada objek di mana masalah tersebut berada dan bukan di dalam pikiran seseorang. Apa yang harus dilakukan adalah mengamati apa yang terjadi dan membuat kesimpulan. Menurut pendekatan empiris, pengetahuan didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari hasil penelitian dan observasi. Salah satu bagian dari pendekatan empiris adalah metode ilmiah.
Penelitian-penelitian yang dilakukan saat ini didasarkan atas metode ilmiah yang merupakan bagian dari pendekatan empiris. Jalaluddin Rakhmat dalam tulisannya, berjudul Metodologi Penelitian Agama dalam buku Taufik Abdullah, dengan meminjam analisis “religion commitment ” dari Glock dan Stark keberagamaan muncul dalam lima dimensi: ideologis, intelektual, eksperiensial, ritualistic, dan konsekuensional. Dua dimensi yang pertama adalah aspek kognitif keberagamaan; dua yang terakhir, aspek behavioral keberagamaan, dan yang ketiga, aspek afektif keberagamaan. [11]
Dimensi ideologis berkenaan dengan seperangkat kepercayaan (believe) yang memberikan “premis eksistensial” untuk menjelaskan Tuhan, alam, manusia, dan hubungan diantara mereka. Dimensi intelektual mengacu pada pengetahuan agama, apa yang tengah atau harus diketahui orang tentang ajaran-ajaran agamanya. Pada dimensi ini, penelitian dapat diarahkan untuk mengetahui seberapa jauh tingkat ketertarikan mereka untuk mempelajari agamanya. Dimensi eksperiensial adalah bagian keagamaan yang bersifat afektif yakni, keterlibatan emosional dan sentimental pada pelaksanaan ajaran agama. Inilah perasaan keagamaan (religion feeling) yang dapat bergerak dalam empat tingkat: konfirmatif, responsive, eskatik dan partisipatif. Dimensi ritualistik merujuk pada ritus-ritus keagamaan yang dianjurkan oleh agama dan atau dilaksanakan oleh para pengikutnya. Dimensi konsekuensional meliputi segala implikasi sosial dari pelaksanaan ajaran agama. Dimensi ini menjelaskan apakah efek ajaran Islam terhadap etos kerja, hubungan interpersonal, kepedulian kepada penderitaan orang lain dan sebagainya.[12]
G. Metodologi Penelitian Agama Islam
Prof. Dr. K.H. Mukti Ali dalam tulisannya berjudul Penelitian Agama di Indonesia dalam Mulyanto Sumardi menyatakan: harus diketahui bahwa fakta-fakta sosial biasanya mengandung banyak interpretasi. Interpretasinya sangat tergantung dari pertanyaan-pertanyaan si peneliti. Orang memahami bahwa pada umumnya di bidang ilmu-ilmu sosial, tidak perlu bahwa seseorang lebih dahulu berpengalaman sebagai ahli dalam suatu bidang untuk kemudian menyelidikinya. Misalnya saja, tidak perlu berpengalaman lebih dahulu dalam bidang kejahatan untuk kemudian menyelidiki persoalan kriminalitas. Ini juga berlaku dalam sosiologi agama misalnya tidak perlu sosiolog atau si penyelidik berpengalaman sebegai orang yang iman atau theology. Sosiologi agama selama ini cenderung menyelidiki agama-agama dan institusi-institusi agama dengan pendekatan yang sama seperti di bidang sosiologi keluarga, sosiologi perusahaan, sosiologi umum dan sebagainya. Si penyelidik sendiri tidak perlu terlibat dalam salah satu agama.[13]
Dalam hubungan ini Mukti Ali ingin menekankan suatu unsur hingga dengan demikian seluruh pendekatan empiris diwarnainya, yakni sikap peneliti agama. Seorang peneliti yang secara teknis mungkin sangat baik belum pasti dapat menemukan persoalan-persoalan agama pada orang yang diwawancarai atau diteliti kecuali kalau ia sendiri beriman dan berefleksi, bukan saja pada situasi sementara penelitian dilakukan, tetapi juga di luar konteks penelitian yaitu dalam hidup sehari-hari. Kalau si peneliti bukan orang beragama, akhirnya ia hanya sanggup mengkonstatir ungkapan-ungkapan kepercayaan dan gejala-gejala agamiah, tetapi bukan iman atau agama itu sendiri. Mungkin dalam arti tertentu sosiologi dan psikologi sudah puas dengan menemukan gejala-gejala tersebut. Tetapi justru dalam penelitian agama, ungkapan- ungkapan dan gejala-gejala itu tidak dapat diterima dengan face valuenya. Penelitian agama tidak mungkin dilakukan kalau peneliti itu tidak tahu seluk-beluk persoalan pokok agama. Karena itu peneliti dan juga para pekerja lapangan dalam bidang agama itu sendiri harus beragama dan berefleksi atas agamanya. Di sinilah justru perbedaan antara penelitian agama dengan sosiologi agama dan psikologi agama.
Dalam ilmu-ilmu sosial barangkali kurang lebih ada tiga corak penelitian: deskripsi, eksplorasi, dan verifikasi. Kriterium yang membedakan ketiga corak penelitian itu adalah peranan hipotesis-hipotesis. Dalam penelitian deskriptif tidak ada hipotesis-hipotesis; dalam penelitian eksploratis hipotesis-hipotesis baru dibentuk pada akhir penelitian; sedangkan hipotesis-hipotesis justru merupakan titik tolak untuk diuji dalam penelitian verifikatif. Penelitian agama tidak bermaksud memperkembangkan teori-teori baru tentang agama, umat dan sebagainya. Tetapi ingin melukiskan salah satu kelompok sosial dan gejala-gejala dalam masyarakat dan gejala-gejala dalam masyarakat agama.
Pada pokoknya seluruh metode penelitian agama sebaiknya berwarna atau bersifat  agamiah, yakni bahwa penelitian agama itu bertitik tolak dari permasalahan agama dan bahwa proses diagnose dan prognase diarahkan oleh salah satu skema evaluasi yang diambil dari agama.
Menguasai metode penelitian hanya merupakan salah satu aspek dari penelitian. Ia merupakan satu hal yang tidak dapat ditinggalkan, tetapi tidak menjamin bahwa penelitiannya itu adalah tepat. Metode dan teknik penelitian hanya merupakan alat saja untuk penelitian. Masih banyak hal-hal yang diperlukan untuk berhasilnya penelitian itu, seperti kedalaman dalam memahami masalah-masalah sosial dan agama, integritas, pribadi, sensitive dan persepsi, disiplin dalam imajinasi, reserve dalam mental. Faktor peneliti memainkan peranan yang sangat penting dalam penelitian itu.
Oleh karena itu maka dalam penelitian agama perlu dibahas faktor-faktor pribadi dan ilmiah, strategi, teknik penelitian dan sebagainya. Di dalam penelitian agama yang perlu digarap adalah fakta-fakta; kemungkinan- kemungkinan yang paling menonjol; melihat dari cahaya agama; menilai dalam cahaya agama pelaksanaan konkret sesuai dengan situasi historis.[14]
H.  Ruang Lingkup Penelitian Agama
Menurut Mukti Ali, beberapa cara untuk dipergunakan dalam penelitian agama, antara lain adalah: Dokumen pribadi. Pengalaman orang yang paling subyektif adalah pengalaman kehidupan agama. Oleh karena itu, barangkali saja mempelajari dokumen pribadi adalah salah satu cara yang paling dekat untuk memahami pengalaman agama seseorang. Namun, tidak murni merupakan suatu metode, tetapi itu merupakan alat yang paling pokok untuk mendekati kehidupan agama seseorang. Dalam mempergunakan dokumen pribadi itu bisa dipergunakan pendekatan nomothetic dan idiographic. Pendekatan nomothetic hanya menggunakan satu dokumen pribadi. Sedangkan pendekatan idiographic selain dokumen pribadi, didukung juga dengan sumber-sumber lain.
Kemudian questionnaire dan interview, apakah dengan interview yang sudah “dibakukan” atau “terbuka” perlu juga dipertimbangkan apakah bisa dipergunakan dalam penelitian agama. Demikian juga public opinion poll untuk mengetahui pendapat umum perlu dipertimbangkan.
Observasi sosiologis dan antropologis biasanya juga dipergunakan apabila orang ini mengatahui tindak laku agamaniah dari kelompok; tetapi dalam penelitian agama barangkali lebih baik mempergunakan particiant observation. Metode perbandingan juga dipergunakan apabila orang ingin membandingkan satu kelompok agama dengan kelompok agama lain. Pertumbuhan agama barangkali saja lebih baik diteliti dengan melalui pendekatan genethic , baik terhadap perseorangan maupun kelompok. Kemudian grafik dan statistik perlu juga diteliti, sejauh mana dapat digunakan untuk penelitian agama.
Departemen Agama, selama ini memusatkan perhatiannya kepada delapan wilayah persoalan (problem areas ) penelitian agama, Badan Litbang Agama Depag RI, yaitu: Masalah Kerukunan umat beragama; Pengamalan Agama; Pendidikan Agama; Pelayanan Ibadah Agama; Sarana Agama; Agama dan Perubahan Lingkungan; Ketenagaan dan; Penyediaan data baku di bidang agama.[15]
I.      Sumbangan dalam Keilmuan (Agama Islam)
Badan Litbang Agama Departemen Agama RI (1981, 50-51) menjelaskan bahwa, Penelitian keagamaan tentang perkembangan dan pengaruh agama Islam dalam masyarakat Indonesia sendiri adalah amat penting dan perlu dalam rangka pengembangan pengetahuan ke-Islaman di Indonesia. Masyarakat Indonesia tidaklah dalam keadaan kosong dan hampa budaya ketika Islam dating ke Indonesia. Sudah barang tentu terjadi perbenturan dan pergeseran di samping penyesuaian dan penyerasian nilai-nilai dan norma-norma secara timbal balik antara Islam dan kebudayaan suku-suku bangsa di Indonesia. Dengan penelitian keagamaan itu diharapkan akan diketahui bagaimana perwujudan sosial dan kultural agama Islam dalam masyarakat Indonesia yang berbagai-bagai itu, dan sejauh mana kebudayaan setempat ikut mewarnai perwujudan sosial dan kultural agama Islam tersebut. Sebenarnya penelitian keagamaan itu tidak hanya perlu bagi pengembangan pengetahuan ke-Islaman saja, melainkan juga perlu bagi pemimpin agama Islam dan bagi para perencana dan pelaksana pembangunan di Indonesia.
Bagi para pemimpin agama Islam, hasil penelitian keagamaan itu akan sangat berguna dalam rangka meningkatkan usaha-usaha dakwah, pendidikan sosial, yang jika dilihat dari segi pembangunan kehidupan keagamaan amatlah penting artinya.
Sedangkan bagi para perencana dan pelaksana pembangunan, hasil penelitian itu akan menghindarkan mereka dari berbuat “kekeliruan” yang menyinggung sentiment dan kepekaan rasa agama dari masyarakat, yang besar atau kecil tentu akan mengganggu usaha-usaha pembangunan. Dengan perkataan lain, penelitian keagamaan itu amat diperlukan, baik untuk kepentingan pembangunan nasional maupun untuk pembangunan kehidupan agama itu sendiri.
J.    Kesimpulan
Dari uraian tersebut di atas maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Penelitian Agama di Indonesia sangat diperlukan, karena penelitian tentang seluruh alam beserta isinya akan membantu memperkuat masalah keimanan terhadap ciptaan Allah SWT, yang merupakan esensi dari agama; Adanya Badan Penelitian dan Pengembangan Agama pada Departemen Agama yang tugas dan fungsinya menyelenggarakan pembinaan semua unit-unit penelitian dan pengembangan di lingkungan Departemen Agama yang mencakup semua jenis penelitian dan pengembangan; Dengan mengingat kekurangan masing-masing para ahli ilmu sosial dan ahli ilmu agama, maka perlu adanya kerja sama antara kedua belah pihak dalam melakukan penelitian agama; Penelitian agama tidak bermaksud memperkembangkan teori-teori baru tentang agama, umat dan sebagainya, tetapi ingin melukiskan salah satu kelompok sosial dan gejala-gejala dalam masyarakat dan gejala-gejala dalam masyarakat agama
2. Ahli barat dalam memandang hukum Islam hanya dilihat dari dua sisi saja, yakni yang berkaitan dengan suruhan dan larangan saja, sedangkan 3 aspek lainnya (sunnat, makruh, dan mubah) tidak diperhatikan. Dengan melihat masalah ini maka sudah seharusnya dalam melakukan penelitian agama kita sudah saatnya meninggalkan konsep-konsep dari Barat tersebut. Ada dua hal yang perlu diperhatikan antara lain: pertama, bahwa sarjana-sarjana Indonesia perlu mengkaji esensi masyarakat Indonesia yang memang beragama Islam. Kedua, bahwa peneliti perlu menumbuhkembangkan istilah-istilah khusus untuk menggambarkan dengan lebih tepat masyarakat yang dibahas itu.
3. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, maka perlu adanya pendekatan empiris, dan irfaniah (mistikal). Sedangkan pendekatan rasional tidak mampu memberikan jawaban yang benar atas suatu permasalahan, sehingga para ilmuwan sudah lama meninggalkan metode ini. Secara teknis ini berarti bahwa penelitian agama/keagamaan dapat menggunakan metode penelitian-penelitian lain yang ada. Lebih tegasnya lagi dapat dikatakan, bahwa semua penelitian yang ada di dunia ini pada dasarnya dapat membantu penelitian agama

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah dkk., M. Amin, Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Multidisipliner, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006.

Abdullah, Taufik, Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1989.

Ali, H.M. Sayuthi, Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Teori dan Praktek, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.

Badan Litbang Agama Departemen Agama RI., Penelitian dan Pengkajian Agama di Indonesia: Arah, Kebijakan, Wilayah dan Pendekatannya, Jakarta: Balitbang Agama Depag RI, 1981.

Kountur, Ronny, Metode Penelitian untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, Jakarta: Penerbit PPM, 2003.

Sumardi, Mulyanto, dkk., Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran, Jakarta: Sinar Harapan, 1982.

Surrahmad , Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar  Metode Tehnik, Bandung: Tarsito, 1983.


[1] Ibid. hlm. 54.
[2] Ibid., hlm. 1.
[3] Irzum Farihah, “Jurnal Religiusitas Anak Jalanan di Kampung Argopuro Desa Hadipolo Kabupaten Kudus,” Jurnal Penelitian Islam Empirik,  P3M STAIN Kudus, Vol.5 No.1 Januari - Juni 2012, hlm. 153-176.
[4] Fathul Mufid, “Epistemologi Mulla Sadra (Kajian Tentang Ilmu Husuli dan Ilmu Huduri)”. Jurnal Penelitian Islam Empirik,  P3M STAIN Kudus, Vol.5 No.1 Januari - Juni 2012, hlm. 205-234.
[5] Muhammad Mustaqim, Pergulatan Pemikiran Islam di Ruang Publik Maya (Analisis Terhadap Tiga Website Organisasi Islam di Indonesia), Jurnal Penelitian Islam Empirik,  P3M STAIN Kudus, Vol.5 No.1 Januari - Juni 2012, hlm. 235-258.
[6] Winarno Surrahmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar  Metode Tehnik, (Bandung: Tarsito, 1983), hlm. 68
[7] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2012), hlm. 68
[8] Ibid., hlm. 46-47.
[9] Ibid., hlm. 49.
[10] Ronny Kountur, Metode Penelitian untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, (Jakarta: Penerbit PPM, 2003), hlm. 1.
[11] Taufik Abdullah, Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1989), hlm. 93.
[12] Ibid., hlm. 95.
[13] Ibid., Mulyanto Sumardi, hlm. 26-28.
[14] Ibid., hlm. 29.
[15] Badan Litbang Agama Departemen Agama RI, Penelitian dan Pengkajian Agama di Indonesia: Arah, Kebijakan, Wilayah dan Pendekatannya, (Jakarta: Balitbang Agama Depag RI, 1981), hlm. 26-27.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kata-kata yang baik, mencerminkan pribadi seseorang.