TEORI DASAR PENELITIAN AGAMA: “PENELITIAN AGAMA DI INDONESIA”, MUKTI ALI (DALAM BUKU “PENELITIAN AGAMA OLEH MULYANTO SUMARDI")
Oleh : Eka Hardiyanti
A.
Latar Belakang Masalah
Penelitian Agama sudah dilakukan beberapa abad yang
lalu namun hasil penelitiannya masih dalam bentuk aktual atau perbuatan saja
belum dijadikan sebagai ilmu. Setelah bertambahnya gejala-gejala agama yang
berbentuk sosial dan budaya, ternyata penelitian dapat dijadikan sebagai ilmu
yang khusus dalam rangka menyelidiki gejala-gejala agama tersebut.
Perkembangan penelitian Agama pada saat ini sangatlah
pesat karena tuntutan-tuntutan kehidupan sosial yang selalu mengalami
perubahan. Kajian-kajian agama memerlukan relevansi dari kehidupan sosial
berlangsung, permasalahan-permasalahan seperti inilah yang mendasari
perkembangan penelitian-penelitian Agama guna mencari relevansi kehidupan
sosial dan agama.
Dewasa ini penelitian Agama diisi dengan penjelasan
mengenai kedudukan penelitian Agama dalam konteks penelitian pada umumnya,
elaborasi mengenai penelitian Agama dan penelitian keagamaan dan konstruksi
teori penelitian keagamaan
Sebenarnya masih banyak persoalan mendasar yang harus digarap
dalam penelitian agama. Tetapi sebagai latar belakang persoalan pokok untuk saat
ini ialah : sejauh mana ilmu-ilmu sosial dapat membantu untuk membentuk
penelitian agama semacam ini? Sejauh mana sudah ada pendekatan-pendekatan dan
metode-metode yang dapat diterapkan dalam lapangan agama. Harus diakui bahwa pengetahuan
tentang agama Islam di Indonesia tidak mengalami perkembangan yang berarti dibanding
dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, baik sistem
budaya maupun sistem sosial.
Penelitian keagamaan itu diharapkan akan diketahui bagaimana perwujudan
sosial dan kultural agama Islam, juga agama-agama lain dalam masyarakat Indonesia
yang bermacam-macam itu, dan sejauh mana kebudayaan setempat ikut mewarnai perwujudan
sosial dan kultural agama Islam tersebut, dan agama-agama lain di Indonesia.
Mattulada menyatakan dalam tulisannya yang berjudul Penelitian
Berbagai Aspek Keagamaan dan Kehidupan Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia
dalam bukunya Sumardi, setuju dengan keterangan Prof. Dr. K.H. Mukti Ali bahwa
penelitian agama belum mendapatkan tempat yang sewajarnya dalam dunia ilmu pengetahuan,
juga di Indonesia ini. Orang belum mengetahui caranya, kalau ia harus meneliti agama
itu. Ahli-ahli pengetahuan sosial dalam meneliti agama ini, lebih banyak
menekankan pada aspek-aspek sosialnya dan melihat agama sebagai suatu yang
timbul dari pergaulan sesama manusia . Cara seperti itu banyak dipergunakan oleh
ahli sosiologi atau ahli antropologi sosial dalam meneliti agama itu.[1]
Untuk menunjang pelaksanaan usaha-usaha itu diperlukan penelitian
agama dan keagamaan dalam berbagai aspeknya untuk mendapatkan data-data otentik
guna dijadikan bahan penyusunan konsepsi-konsepsi pengembangan dan pembinaan,
serta penyusunan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang keagamaan.
Mulyanto Sumardi menyatakan pada buku berjudul Penelitian Agama:
Masalah dan Pemikiran bahwa sejak Badan Penelitian dan Pengembangan Agama
dibentuk pada tahun 1975, salah satu di antara sekian topik yang muncul adalah
masalah “metodologi penelitian agama”. Serangkaian pertemuan telah diselenggarakan
oleh Badan Litbang Agama untuk membicarakan persoalan ini, dan hasilnya adalah
para ahli mempunyai dua pendapat yang berbeda untuk memecahkan masalah
tersebut. Pertama, menyatakan bahwa
perlu dibangun suatu metodologi penelitian agama yang khas, sekalipun hal ini
harus mengambil unsur-unsur dari disiplin-disiplin terdekat.
Kedua, mereka yang berpandangan bahwa dalam penelitian agama tidak
perlu membangun metode baru. Sebagaimana yang telah berjalan selama ini, para
ahli bisa melakukan penelitian agama dengan cara memanfaatkan pengetahuan serta
metode dari berbagai disiplin (interdisipliner atau multidisipliner), khususnya
dari dua disiplin terdekat, yakni ilmu-ilmu sosial dan pengetahuan budaya.
Begitulah bagi
para peneliti dari disiplin yang lain, mereka tetap akan melihat gejala
keagamaan sesuai dengan sudut dan konsep disiplinnya masing-masing. Walaupun mereka
memiliki suatu disiplin, namun itu tidak berarti mereka harus terpaku dalam disiplin
itu sendiri, sebab bagaimanapun juga para peneliti dituntut untuk memiliki
kepekaan teoritis lebih dari sekedar pendekatan empiris semata-mata, Pada garis
besarnya pihak kedua ini berpendapat bahwa dalam penelitian agama tidak perlu
dibangun suatu metodologi tersendiri, akan tetapi cukup dengan memanfaatkan
berbagai disiplin yang ada, sesuai dengan segi dan masalah keagamaan yang
hendak diteliti.[2]
B.
Rumusan Permasalahan
Berdasarkan dasar latar belakang masalah di atas, maka yang
menjadi fokus permasalahan dalam makalah ini adalah: Bagaimana Metode
Penelitian Agama Menurut Perspektif Mukti Ali?
C.
Kajian Pustaka
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui penelitian agama di
Indonesia. Setelah penulis mengadakan penelitian secara teratur, ada
beberapa karya berupa jurnal yang berkaitan dengan penelitian agama di Indonedia,
antara lain sebagai
berikut:
Irzum Farihah, S.Ag., M.Si., “Religiusitas Anak Jalanan di Kampung Argopuro Desa
Hadipolo Kabupaten Kudus”. Permasalahan yang diteliti dalam jurnal ini kerasnya
kehidupan anak jalanan yang menghabiskan waktu di jalan sehingga banyak dari
mereka yang lalai dalam melaksanakan ajaran agamanya. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dan metode deskriptif, dengan teori tentang religiusitas dan kehidupan
beragama. Hasil dari penelitian di lapangan bahwa
ternyata anak-anak jalanan di kampung Argopuro meskipun sudah banyak mengetahui
aturan agama dalam beribadah, khususnya ngaji, shalat dan puasa yang mereka
dapatkan melalui TPQ, ngaji malam, kegiatan keagamaan lainnya, ternyata tingkat
religiusitas anak-anak masih rendah, hal ini bisa dilihat dari pelaksanaan
shalat mereka yang hanya dilakukan di Mushalla saja, sedangkan di rumah dan
ketika di jalanan mereka masih meninggalkan shalat.[3]
Fathul Mufid, “Epistemologi Mulla Sadra (Kajian Tentang Ilmu Husuli dan Ilmu
Huduri)”. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah perbedaan paradigma yang menimbulkan perbedaan konsep epistemologi yang
berujung pada klaim kebenaran (truth clim), sehingga terjadi polemik
berkepanjangan. Suasana polemik epistemologi inilah yang ditemui Mulla Sadra dalam petualangan karir intelektualnya.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian library
research, dengan menggunakan teori tentang epistemologis.
Temuan penelitian ini adalah, bahwa ada tujuh
wacana pemikiran sebelum-nya yang melatarbelakangi filsafat Mulla Sadra,
yakni; pemikiran tradisional-normatif, pemikiran klasik Yunani-Romawi,
pemikiran Kalam, pemikiran filsafat Paripatetik, tasawuf al-Gazali, filsafat Iluminasi, dan ‘irfan Ibn ‘Arabi.
Epistemologi Mulla Sadra
bertumpu kepada tujuh prinsip
pemikiran yang merupakan landasan seluruh pemikiran filsafatnya, yaitu; prinsip
fundamentalitas wujud, gradasi wujud, kotinuitas wujud, wujud mental, gerak
substansial, kesatuan subjek dan objek pengetahuan, dan alam imajinal. Ilmu
Husuli menurut Mulla Sadra
adalah pengetahuan yang didapat berdasarkan proses korespondensi atau konsepsi
yang terjadi antara subjek internal dengan objek eksternal, sehingga keduanya
merupakan eksistensi independen yang berbeda satu sama lain. Sementara ilmu Huduri diperoleh secara langsung dari Tuhan tanpa
adanya pemisahan dua objek internal dan eksternal, sehingga ia terbebas dari
dualisme kebenaran dan kesalahan. Tipologi filsafat Mulla Sadra
adalah tipe “hikmah”, yaitu pemaduan antara visi rasional dengan visi mistik,
yang kemudian diselaraskan dengan syari’ah.[4]
Muhammad Mustaqim, “Pergulatan Pemikiran Islam di Ruang Publik
Maya (Analisis Terhadap Tiga Website Organisasi Islam di Indonesia). Permasalahan yang dibahas dalam penelitian
ini adalah kecenderungan
pergulatan pemikiran islam pada ruang publik maya, melalui website resmi
masing-masing organisasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dan
teori yang berkaitan dengan ruang publik.
Hasil dari penelitian ini adalah
Internet sebagai ruang publik maya di manfaatkan oleh berberapa organisasi
islam dalam mempromosikan kepentingan organisasi masing-masing. Perbedaan
ideologi dan kepentingan antar organisasi ini terkadang melahirkan pertrungan
pemikiran secara tidak langsung, atau apa yang sering disebut dengan perang
pemikiran (ghozw al fikr). Tiga
organisasi Islam di Indonesia, yang masing-masing mewakil poros tertentu, yakni
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Nahdlatul
Ulama’ (NU) memainkan peran ruang publik maya dalam melangsungkan tujuan
organisasi. Website menyimpan berbagai agenda, hegemoni, dan ruang interaksi
untuk mewujudkan visi masing-masing organisasi. Pergulatan pemikiran ini dapat
dinikmati oleh publik, dan publik bisa memilih mana yang relevan, cocok, dan
terbaik menurut mereka.[5]
Dari ketiga penelitian yang telah dilakukan tersebut, ketiganya
termasuk dalam penelitian agama yang melibatkan berbagai disiplin ilmu.
D.
Metodelogi
Jenis pendekatan yang digunakan dalam peneliti ini adalah pendekatan
kualitatif, dengan metode library
research, yang dijadikan acuan pedoman pembuatan makalah ini adalah
pemikiran Mukti Ali tentang penelitian agama di Indonesia dalam bukunya
Mulyanto Sumardi.
Beberapa istilah penting yang ditemui dalam makalah ini adalah :
1. Diagnose dan Prognase. Diagnose artinya melakukan pemeriksaan,
sedangkan prognase artinya perkiraan
terhadap hasil akhir.
2. Hipotesis. Menurut pendapat Winarno Surrahmad bahwa: “ Hipotesis adalah sebuah
kesimpulan, tetapi kesimpulan ini belum final masih harus dibuktikan
kebenarannya”.[6]
3. Antropologis artinya ilmu yang mempelajari tentang manusia, masa
lalu, dan kini yang menggambarkan manusia melalui pengetahuan ilmu social dan
ilmu alam dan juga humaniora.
E.
Pentingnya Penelitian Agama
Menurut Mukti Ali dalam Sumardi (1982) Penelitian agama di
Indonesia adalah penting karena bangsa Indonesia adalah bangsa religius, dan
masyarakat sosialistis religius. Penelitian agama adalah penting bukan saja
bagi kalangan ilmuwan dan dunia ilmu pengetahuan, akan tetapi juga bagi para
perencana dan pelaksana pembangunan di negeri ini. Pada firman Allah SWT Q.S.
Ali Imran 190-191 :
cÎ)
Îû
È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur
É#»n=ÏF÷z$#ur
È@ø©9$# Í$pk¨]9$#ur
;M»tUy
Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÉÈ tûïÏ%©!$#
tbrãä.õt
©!$# $VJ»uÏ%
#Yqãèè%ur 4n?tãur
öNÎgÎ/qãZã_
tbrã¤6xÿtGtur
Îû
È,ù=yz ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur
$uZ/u
$tB
|Mø)n=yz #x»yd
WxÏÜ»t/
y7oY»ysö6ß
$oYÉ)sù
z>#xtã
Í$¨Z9$# ÇÊÒÊÈ
Artinya
: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit
dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami
dari siksa neraka.”[7]
Dari ayat di atas kaitannya dengan penelitian agama/ keagamaan
secara eksplisit bahwa penelitian terhadap seluruh isi alam ini akan membawa
seseorang kepada kesadaran tentang adanya kekuasaan Allah SWT. Dengan kata lain
bahwa penelitian tentang seluruh alam beserta isinya akan membantu memperkuat
masalah keimanan terhadap ciptaan Allah SWT, yang merupakan esensi dari agama. Secara
teknis ini berarti bahwa penelitian agama/keagamaan dapat menggunakan metode penelitian-penelitian
lain yang ada.
Menyadari perlunya penelitian agama maka pemerintah lewat
Keputusan Presiden RI No. 45 Tahun 1974 yang dijabarkan oleh Keputusan Menteri
Agama Nomor 18 Tahun 1975 telah membentuk Badan Penelitian dan Pengembangan
Agama pada Departemen
Agama yang tugas dan fungsinya antara lain: “menyelenggarakan
pembinaan semua unit-unit penelitian dan pengembangan di lingkungan Departemen
Agama yang mencakup semua jenis penelitian dan pengembangan, baik yang
diselenggarakan sendiri oleh Badan LITBANG maupun yang diselenggarakan oleh unsur-unsur
lain dalam Departemen Agama.
Hal yang mendorong adanya penelitian agama, khususnya di Indonesia
ialah adanya kesadaran umum yang kuat, bahwa kenyataan sosial dan kultural
bangsa Indonesia, adalah kenyataan yang bersifat religius. Agama dan masyarakat
itu ada dan saling mempengaruhi. Agama mempengaruhi jalannya masyarakat, dan
selanjutnya pertumbuhan masyarakat mempengaruhi pemikiran terhadap agama.
Pengaruh timbal-balik antara perkembangan masyarakat dan pertumbuhan agama
merupakan kenyataan sosial budaya yang menjadi tantangan untuk dipahami seluas
dan sedalam mungkin. Untuk menjawab tantangan itu, penelitian-penelitian ilmiah
diperlukan penggiatannya, baik untuk kepentingan akademis maupun untuk
keperluan kebijakan-kebijakan dalam pembangunan masyarakat pada umumnya.
F.
Pendekatan Bukan Barat
Deliar Noer di
akhir tulisannya yang berjudul Diperlukan Pendekatan Bukan Barat terhadap Masyarakat
Indonesia dalam bukunya Sumardi dkk. menyatakan bahwa sifat dalam hukum Islam
bukan terbatas pada suruhan dan larangan belaka, melainkan juga yang bersifat
menganjurkan (sunnah), mencegah secara lunak tetapi mengandung pengertian tidak
apa-apa bila masih juga dikerjakan (makruh). Di samping empat kategori ini kita
masih mengenal sifat membiarkan atau membolehkan (jaiz, mubah). Ketika membicarakan
hukum masyarakat Indonesia, tampaknya penulis Barat tidak melihat kelima
kategori ini. Sifat hukum mereka memang terbatas pada larangan dan suruhan.
Bagi mereka, bila yang diwajibkan tidak dikerjakan, atau bila yang dilarang
dikerjakan terjadilah pelanggaran, dan oleh sebab itu hukuman bisa dijatuhkan.
Tiga kategori lain tidak perlu dipusingkan.[8]
Sedangkan dalam
Islam segala macam aspek hidup dibicarakan dalam hukum. Oleh karena kategori
jaiz atau mubah termasuk bidang yang luas, maka sebenarnya ruang gerak bagi si Muslim
sangat luas pula, termasuk bagian-bagian adat dalam masyarakat yang sungguhpun
mungkin berasal dari zaman sebelum Islam dikenal, bisa saja dilanjutkan sesudah
Islam masuk asalkan ia tidak bertentangan dengan pokok-pokok kaidah.
Memandang
satu-satu masalah dengan pandangan atau pendekatan sedemikian, akan
mempertemukan adat dengan Islam. Sudah jelas bahwa penulis- penulis Barat
umumnya tidak memperhatikan ciri-ciri pokok Islam dan pengaruhnya dalam masyarakat.
Penilaian mereka bersandar pada nilai-nilai yang tumbuh dalam diri mereka, dan penilaian
kita seharusnya bersandar pada nilai-nilai yang tumbuh dalam diri kita.
Lebih lanjut Deliar
Noer menyatakan ada dua jalan yang perlu ditempuh untuk dapat membuat kajian
tentang masyarakat Indonesia. Pertama,
bahwa sarjana-sarjana Indonesia perlu mengkaji esensi masyarakat Indonesia yang
memang beragama Islam. Kedua, bahwa
perlu menumbuh-kembangkan istilah-istilah khusus untuk menggambarkan dengan
lebih tepat masyarakat yang kita bahas itu.[9]
Ronny Kountur
menyatakan bahwa, penelitian berhubungan dengan usaha untuk mengetahui sesuatu.
Selain itu penelitian berhubungan pula dengan usaha untuk mencari tahu jawaban
atas suatu atau beberapa permasalahan. Telah dikenal dua pendekatan yang pernah
digunakan oleh para ahli dalam upaya untuk mencari tahu sesuatu pengetahuan
yang baru yaitu pendekatan rasional dan empiris.[10]
Pendekatan
Rasional merupakan suatu cara untuk mencari tahu sesuatu pengetahuan yang baru
dengan anggapan bahwa segala sesuatu yang ingin diketahui itu ada di dalam pikiran
manusia (internal wisdom). Adalah kemampuan seseorang untuk berfikir, dengan menggunakan
akal sehat atau rasional, untuk menemukan pengetahuan tersebut dari pikirannya.
Dengan kata lain, menurut pendekatan rasional, pengetahuan dimulai dari suatu
gagasan atau pikiran yang didasarkan atas kebijaksanaan yang dimilki seseorang.
Menurut pendekatan
empiris pengetahuan diperoleh dari hasil pengamatan terhadap fenomena yang
terjadi (external process). Jawaban atas suatu
permasalahan ada pada objek di mana masalah tersebut berada dan bukan di dalam
pikiran seseorang. Apa yang harus dilakukan adalah mengamati apa yang terjadi
dan membuat kesimpulan. Menurut pendekatan empiris, pengetahuan didasarkan atas
fakta-fakta yang diperoleh dari hasil penelitian dan observasi. Salah satu
bagian dari pendekatan empiris adalah metode ilmiah.
Penelitian-penelitian
yang dilakukan saat ini didasarkan atas metode ilmiah yang merupakan bagian
dari pendekatan empiris. Jalaluddin Rakhmat dalam tulisannya, berjudul
Metodologi Penelitian Agama dalam buku Taufik Abdullah, dengan meminjam analisis
“religion commitment ” dari Glock dan Stark keberagamaan muncul dalam lima
dimensi: ideologis, intelektual, eksperiensial, ritualistic, dan konsekuensional. Dua dimensi yang pertama adalah
aspek kognitif keberagamaan; dua yang terakhir, aspek behavioral keberagamaan, dan yang ketiga, aspek afektif
keberagamaan. [11]
Dimensi ideologis berkenaan dengan
seperangkat kepercayaan (believe)
yang memberikan “premis eksistensial” untuk menjelaskan Tuhan, alam, manusia,
dan hubungan diantara mereka. Dimensi
intelektual mengacu pada pengetahuan agama, apa yang tengah atau harus diketahui
orang tentang ajaran-ajaran agamanya. Pada dimensi ini, penelitian dapat
diarahkan untuk mengetahui seberapa jauh tingkat ketertarikan mereka untuk mempelajari
agamanya. Dimensi eksperiensial
adalah bagian keagamaan yang bersifat afektif
yakni, keterlibatan emosional dan sentimental pada pelaksanaan ajaran agama.
Inilah perasaan keagamaan (religion feeling) yang dapat bergerak dalam empat
tingkat: konfirmatif, responsive, eskatik dan partisipatif. Dimensi ritualistik merujuk pada ritus-ritus keagamaan yang dianjurkan oleh
agama dan atau dilaksanakan oleh para pengikutnya. Dimensi konsekuensional meliputi
segala implikasi sosial dari pelaksanaan ajaran agama. Dimensi ini menjelaskan
apakah efek ajaran Islam terhadap etos kerja, hubungan interpersonal,
kepedulian kepada penderitaan orang lain dan sebagainya.[12]
G.
Metodologi Penelitian Agama Islam
Prof. Dr. K.H.
Mukti Ali dalam tulisannya berjudul Penelitian Agama di Indonesia dalam Mulyanto
Sumardi menyatakan: harus diketahui bahwa fakta-fakta sosial biasanya
mengandung banyak interpretasi. Interpretasinya sangat tergantung dari pertanyaan-pertanyaan
si peneliti. Orang memahami bahwa pada umumnya di bidang ilmu-ilmu sosial, tidak
perlu bahwa seseorang lebih dahulu berpengalaman sebagai ahli dalam suatu
bidang untuk kemudian menyelidikinya. Misalnya saja, tidak perlu berpengalaman
lebih dahulu dalam bidang kejahatan untuk kemudian menyelidiki persoalan kriminalitas.
Ini juga berlaku dalam sosiologi agama misalnya tidak perlu sosiolog atau si
penyelidik berpengalaman sebegai orang yang iman atau theology. Sosiologi agama selama ini cenderung menyelidiki
agama-agama dan institusi-institusi agama dengan pendekatan yang sama seperti
di bidang sosiologi keluarga, sosiologi perusahaan, sosiologi umum dan
sebagainya. Si penyelidik sendiri tidak perlu terlibat dalam salah satu agama.[13]
Dalam hubungan ini
Mukti Ali ingin menekankan suatu unsur hingga dengan demikian seluruh
pendekatan empiris diwarnainya, yakni sikap peneliti agama. Seorang peneliti
yang secara teknis mungkin sangat baik belum pasti dapat menemukan persoalan-persoalan
agama pada orang yang diwawancarai atau diteliti kecuali kalau ia sendiri
beriman dan berefleksi, bukan saja pada situasi sementara penelitian dilakukan,
tetapi juga di luar konteks penelitian yaitu dalam hidup sehari-hari. Kalau si
peneliti bukan orang beragama, akhirnya ia hanya sanggup mengkonstatir
ungkapan-ungkapan kepercayaan dan gejala-gejala agamiah, tetapi bukan iman atau
agama itu sendiri. Mungkin dalam arti tertentu sosiologi dan psikologi sudah
puas dengan menemukan gejala-gejala tersebut. Tetapi justru dalam penelitian
agama, ungkapan- ungkapan dan gejala-gejala itu tidak dapat diterima dengan face valuenya.
Penelitian agama tidak mungkin dilakukan kalau peneliti itu tidak tahu
seluk-beluk persoalan pokok agama. Karena itu peneliti dan juga para pekerja lapangan
dalam bidang agama itu sendiri harus beragama dan berefleksi atas agamanya. Di sinilah
justru perbedaan antara penelitian agama dengan sosiologi agama dan psikologi agama.
Dalam ilmu-ilmu
sosial barangkali kurang lebih ada tiga corak penelitian: deskripsi, eksplorasi,
dan verifikasi. Kriterium yang membedakan ketiga corak penelitian itu adalah peranan
hipotesis-hipotesis. Dalam penelitian deskriptif tidak ada hipotesis-hipotesis;
dalam penelitian eksploratis hipotesis-hipotesis baru dibentuk pada akhir
penelitian; sedangkan hipotesis-hipotesis justru merupakan titik tolak untuk
diuji dalam penelitian verifikatif. Penelitian agama tidak bermaksud memperkembangkan
teori-teori baru tentang agama, umat dan sebagainya. Tetapi ingin melukiskan
salah satu kelompok sosial dan gejala-gejala dalam masyarakat dan gejala-gejala
dalam masyarakat agama.
Pada pokoknya
seluruh metode penelitian agama sebaiknya berwarna atau bersifat agamiah, yakni bahwa penelitian agama itu bertitik
tolak dari permasalahan agama dan bahwa proses diagnose dan prognase
diarahkan oleh salah satu skema evaluasi yang diambil dari agama.
Menguasai metode
penelitian hanya merupakan salah satu aspek dari penelitian. Ia merupakan satu
hal yang tidak dapat ditinggalkan, tetapi tidak menjamin bahwa penelitiannya
itu adalah tepat. Metode dan teknik penelitian hanya merupakan alat saja untuk
penelitian. Masih banyak hal-hal yang diperlukan untuk berhasilnya penelitian
itu, seperti kedalaman dalam memahami masalah-masalah sosial dan agama,
integritas, pribadi, sensitive dan persepsi, disiplin dalam imajinasi, reserve
dalam mental. Faktor peneliti memainkan peranan yang sangat penting dalam
penelitian itu.
Oleh karena itu
maka dalam penelitian agama perlu dibahas faktor-faktor pribadi dan ilmiah,
strategi, teknik penelitian dan sebagainya. Di dalam penelitian agama yang
perlu digarap adalah fakta-fakta; kemungkinan- kemungkinan yang paling
menonjol; melihat dari cahaya agama; menilai dalam cahaya agama pelaksanaan konkret
sesuai dengan situasi historis.[14]
H.
Ruang Lingkup Penelitian Agama
Menurut Mukti Ali, beberapa cara untuk dipergunakan dalam penelitian
agama, antara lain adalah: Dokumen pribadi. Pengalaman orang yang paling
subyektif adalah pengalaman kehidupan agama. Oleh karena itu, barangkali saja
mempelajari dokumen pribadi adalah salah satu cara yang paling dekat untuk memahami
pengalaman agama seseorang. Namun, tidak murni merupakan suatu metode, tetapi
itu merupakan alat yang paling pokok untuk mendekati kehidupan agama seseorang.
Dalam mempergunakan dokumen pribadi itu bisa dipergunakan pendekatan nomothetic dan idiographic. Pendekatan nomothetic
hanya menggunakan satu dokumen pribadi. Sedangkan pendekatan idiographic selain dokumen pribadi,
didukung juga dengan sumber-sumber lain.
Kemudian questionnaire dan interview, apakah dengan interview yang
sudah “dibakukan” atau “terbuka” perlu juga dipertimbangkan apakah bisa
dipergunakan dalam penelitian agama. Demikian juga public opinion poll untuk mengetahui pendapat umum perlu
dipertimbangkan.
Observasi sosiologis dan antropologis biasanya juga dipergunakan
apabila orang ini mengatahui tindak laku agamaniah dari kelompok; tetapi dalam
penelitian agama barangkali lebih baik mempergunakan particiant observation.
Metode perbandingan juga dipergunakan apabila orang ingin membandingkan satu
kelompok agama dengan kelompok agama lain. Pertumbuhan agama barangkali saja
lebih baik diteliti dengan melalui pendekatan genethic , baik terhadap perseorangan
maupun kelompok. Kemudian grafik dan statistik perlu juga diteliti, sejauh mana
dapat digunakan untuk penelitian agama.
Departemen Agama, selama ini memusatkan perhatiannya kepada
delapan wilayah persoalan (problem areas ) penelitian agama, Badan Litbang
Agama Depag RI, yaitu: Masalah Kerukunan umat beragama; Pengamalan Agama; Pendidikan
Agama; Pelayanan Ibadah Agama; Sarana Agama; Agama dan Perubahan Lingkungan;
Ketenagaan dan; Penyediaan data baku di bidang agama.[15]
I.
Sumbangan dalam Keilmuan
(Agama Islam)
Badan Litbang Agama Departemen
Agama RI (1981, 50-51) menjelaskan bahwa, Penelitian keagamaan tentang perkembangan dan pengaruh agama Islam dalam masyarakat Indonesia sendiri adalah amat penting dan perlu dalam rangka pengembangan pengetahuan
ke-Islaman di Indonesia. Masyarakat Indonesia tidaklah dalam keadaan kosong dan hampa budaya ketika Islam dating ke Indonesia. Sudah barang tentu terjadi perbenturan dan pergeseran di samping penyesuaian dan penyerasian
nilai-nilai dan norma-norma secara timbal balik antara Islam dan kebudayaan suku-suku bangsa di Indonesia. Dengan penelitian keagamaan itu diharapkan akan diketahui bagaimana perwujudan sosial dan kultural agama Islam dalam masyarakat Indonesia yang berbagai-bagai itu, dan sejauh
mana kebudayaan setempat ikut
mewarnai perwujudan sosial dan kultural agama
Islam tersebut. Sebenarnya
penelitian keagamaan itu tidak hanya
perlu bagi pengembangan pengetahuan
ke-Islaman saja, melainkan juga perlu
bagi pemimpin agama Islam dan bagi para perencana
dan pelaksana pembangunan di Indonesia.
Bagi para pemimpin agama Islam, hasil penelitian keagamaan itu akan sangat berguna dalam rangka meningkatkan usaha-usaha dakwah, pendidikan
sosial, yang jika dilihat dari segi
pembangunan kehidupan keagamaan
amatlah penting artinya.
Sedangkan bagi para
perencana dan pelaksana pembangunan,
hasil penelitian itu akan menghindarkan
mereka dari berbuat “kekeliruan”
yang menyinggung sentiment dan kepekaan
rasa agama dari masyarakat, yang besar
atau kecil tentu akan mengganggu usaha-usaha pembangunan. Dengan perkataan
lain, penelitian keagamaan itu amat
diperlukan, baik untuk kepentingan
pembangunan nasional maupun untuk
pembangunan kehidupan agama itu
sendiri.
J.
Kesimpulan
Dari uraian
tersebut di atas maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Penelitian Agama di Indonesia sangat diperlukan, karena penelitian
tentang seluruh alam beserta isinya akan membantu memperkuat masalah keimanan
terhadap ciptaan Allah SWT, yang merupakan esensi dari agama; Adanya Badan
Penelitian dan Pengembangan Agama pada Departemen Agama yang tugas dan
fungsinya menyelenggarakan pembinaan semua unit-unit penelitian dan
pengembangan di lingkungan Departemen Agama yang mencakup semua jenis
penelitian dan pengembangan; Dengan mengingat kekurangan masing-masing para
ahli ilmu sosial dan ahli ilmu agama, maka perlu adanya kerja sama antara kedua
belah pihak dalam melakukan penelitian agama; Penelitian agama tidak bermaksud memperkembangkan
teori-teori baru tentang agama, umat dan sebagainya, tetapi ingin melukiskan
salah satu kelompok sosial dan gejala-gejala dalam masyarakat dan gejala-gejala
dalam masyarakat agama
2. Ahli barat dalam memandang hukum Islam hanya dilihat dari dua sisi
saja, yakni yang berkaitan dengan suruhan dan larangan saja, sedangkan 3 aspek
lainnya (sunnat, makruh, dan mubah) tidak diperhatikan. Dengan melihat masalah
ini maka sudah seharusnya dalam melakukan penelitian agama kita sudah saatnya meninggalkan
konsep-konsep dari Barat tersebut. Ada dua hal yang perlu diperhatikan antara lain:
pertama, bahwa sarjana-sarjana Indonesia perlu mengkaji esensi masyarakat Indonesia
yang memang beragama Islam. Kedua, bahwa peneliti perlu menumbuhkembangkan
istilah-istilah khusus untuk menggambarkan dengan lebih tepat masyarakat yang
dibahas itu.
3. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya, maka perlu adanya pendekatan empiris, dan irfaniah (mistikal).
Sedangkan pendekatan rasional tidak mampu memberikan jawaban yang benar atas suatu
permasalahan, sehingga para ilmuwan sudah lama meninggalkan metode ini. Secara teknis
ini berarti bahwa penelitian agama/keagamaan dapat menggunakan metode penelitian-penelitian
lain yang ada. Lebih tegasnya lagi dapat dikatakan, bahwa semua penelitian yang
ada di dunia ini pada dasarnya dapat membantu penelitian agama
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah
dkk., M. Amin, Metodologi Penelitian
Agama: Pendekatan Multidisipliner, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan
Kalijaga, 2006.
Abdullah,
Taufik, Metodologi Penelitian Agama:
Sebuah Pengantar, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1989.
Ali,
H.M. Sayuthi, Metodologi Penelitian
Agama: Pendekatan Teori dan Praktek, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2002.
Badan
Litbang Agama Departemen Agama RI., Penelitian
dan Pengkajian Agama di Indonesia: Arah, Kebijakan, Wilayah dan Pendekatannya,
Jakarta: Balitbang Agama Depag RI, 1981.
Kountur,
Ronny, Metode Penelitian untuk Penulisan
Skripsi dan Tesis, Jakarta: Penerbit PPM, 2003.
Sumardi,
Mulyanto, dkk., Penelitian Agama: Masalah
dan Pemikiran, Jakarta: Sinar Harapan, 1982.
Surrahmad , Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah
Dasar Metode Tehnik, Bandung: Tarsito, 1983.
[1] Ibid. hlm. 54.
[2] Ibid., hlm. 1.
[3] Irzum Farihah, “Jurnal Religiusitas
Anak Jalanan
di Kampung
Argopuro Desa Hadipolo Kabupaten Kudus,” Jurnal Penelitian Islam Empirik, P3M STAIN Kudus, Vol.5 No.1
Januari - Juni 2012, hlm. 153-176.
[4] Fathul Mufid, “Epistemologi Mulla Sadra (Kajian Tentang Ilmu Husuli dan Ilmu
Huduri)”. Jurnal Penelitian Islam Empirik, P3M STAIN Kudus, Vol.5 No.1 Januari - Juni
2012, hlm. 205-234.
[5] Muhammad Mustaqim,
“Pergulatan
Pemikiran Islam di Ruang Publik Maya (Analisis Terhadap Tiga Website Organisasi
Islam di Indonesia), Jurnal Penelitian Islam Empirik, P3M STAIN Kudus, Vol.5 No.1 Januari - Juni
2012, hlm. 235-258.
[6] Winarno Surrahmad, Pengantar
Penelitian Ilmiah Dasar Metode Tehnik, (Bandung:
Tarsito, 1983), hlm. 68
[7] Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2012), hlm. 68
[8] Ibid., hlm. 46-47.
[9] Ibid., hlm. 49.
[10] Ronny
Kountur, Metode Penelitian untuk
Penulisan Skripsi dan Tesis, (Jakarta: Penerbit PPM, 2003), hlm. 1.
[11] Taufik
Abdullah, Metodologi Penelitian Agama:
Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1989), hlm. 93.
[12] Ibid., hlm. 95.
[13] Ibid., Mulyanto Sumardi,
hlm. 26-28.
[14] Ibid., hlm. 29.
[15] Badan
Litbang Agama Departemen Agama RI, Penelitian
dan Pengkajian Agama di Indonesia: Arah, Kebijakan, Wilayah dan Pendekatannya,
(Jakarta: Balitbang Agama Depag RI, 1981), hlm. 26-27.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
kata-kata yang baik, mencerminkan pribadi seseorang.