MAKALAH STUDI AL-QUR’AN
DAN HADITS
PESAN TUHAN KEPADA
MANUSIA
DARI TUHAN KE PERCETAKAN
DARI METAFISIKA KE AKSIOLOGI
Disusun Oleh :
NAMA :
Eka Hardiyanti
NIM :
1520420033
Dosen Pembimbing :
Dr. Waryono, M.Ag.
KONSENTRASI GURU KELAS
MADRASAH IBTIDAIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN
GURU MADRASAH IBTIDA’IYAH (PGMI)
FAKULTAS TARBIYAH DAN
KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
TAHUN AKADEMIK
2015/2016
ABSTRAK
Makalah ini membahas tentang Pesan Tuhan
kepada Manusia: Dari Tuhan sampai Percetakan Dari Metafisika ke Aksiologi.
Alasan penulis menulis makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi
Al-Qur’an dan Hadits : Teori dan Metodelogi
yang dibimbing oleh Dr. Waryono, M.Ag.
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui
sejarah Al-Qur’an mulai dari Allah yang menyampaikannya kepada Rasulullah
melalui perantara Malaikat Jibril hingga Al-Qur’an dalam bentuk aksiologi
seperti yang ada pada kita saat ini.
Berdasarkan pembahasan dalam makalah
ini, dapat diketahui bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah selama 23
tahun, 13 tahun selama Rasulullah berada di Mekkah dan 10 tahun ketika beliau
berada di Madinah. Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah melalui perantara
Malaikat Jibril yang disebut dengan wahyu. Lalu kemudian Al-Qur’an ditulis pada
daun kering, tulang, dan pelepah kurma pada masa Nabi. Kemudian dilakukan
pengumpulan Al-Qur’an pada masa Khalifah Abu Bakar ra, penyeragaman pada masa
Utsman bin Affan dan penyempurnaan pasca kepemimpinan khalifah Utsman bin
Affan.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Agama Islam adalah agama yang
dianut oleh ratusan juta kaum muslim di seluruh dunia, merupakan way of life yang menjamin kebahagiaan
hidup pemeluknya di dunia dan di akhirat. Ia mempunyai satu sendi utama yang
esensial; berfungsi memberi petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya. Allah
berfirman, sesungguhnya Al-Qur’an ini memberi petunjuk menuju jalan yang
sebaik-baiknya (Q.S. 17:9).
Al-Qur’an diturunkan secara
berangsur-angsur dalam masa kurang lebih 23 tahun,13 tahun di Mekkah dan 10
tahun di Madinah. Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan dari langit oleh Allah
kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril.
Al-Qur’an memberikan petunjuk dalam
persoalan-persoalan akidah, syariah, dan akhlak dengan jalan meletakkan
dasar-dasar prinsip mengenai persoalan-persoalan tersebut. Allah swt menugaskan
Rasulullah saw untuk memberikan keterangan yang lengkap mengenai dasar-dasar
itu. Di samping keterangan yang diberikan oleh Rasulullah saw, Allah pun
memerintahkan umat muslim untuk memperhatikan dan mempelajari Al-Qur’an.
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka penulis menulis Makalah tentang Pesan Tuhan kepada Manusia: Dari Tuhan
sampai Percetakan Dari Metafisika ke Aksiologi untuk mengetahui proses lahirnya
pesan Tuhan yang dari semula sebagai wahyu dan metafisika hingga akhirnya dalam
bentuk buku seperti yang kita baca saat ini dan berbagai disiplin ilmu yang
mempejarinya.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pokok Tentang Al-Qur’an
1. Definisi
Al-Qur’an
Al-Syafi’i
yang dikutip oleh Abuddin Nata Mengatakan
bahwa lafal Al-Qur’an yang terkenal itu bukan musytaq (pecahan dari akar kata apa pun) dan bukan pula berhamzah
(tanpa tambahan huruf hamzah di tengahnya). Lafal tersebut sudah lazim
digunakan dalam pengertian Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Dengan demikian lafal tersebut memang nama khusus bagi Al-Qur’an, sama dengan
nama Taurat dan Injil.[1]
Pendapat
lain yang dikemukakan oleh al-Zajjaj yang dikutip oleh Ali Romdhoni Mengatakan
bahwa kata Al-Qur’an ditulis dengan huruf hamzah
di tengahnya berdasarkan wazan
(bentuk) fu’lan. Kata Al-Qur’an
berasal dari akar kata qar’un yang
berarti “kumpul”. Karena Al-Qur’an mengumpulkan hal-hal terpenting dari
ajaran/kandungan kitab-kitab terdahulu. Sementara pendapat al-Hayyani,
“al-Qur’an” merupakan masdar dari
kata qara’a, bermakna “membaca”.[2]
Di
sisi lain, Al-Qur’an (Q.S. al-Qiyamah: 17-18) juga memberikan gambaran mengenai
asal-usul kata Al-Qur’an :
tPöqtur
ß]yèö7tR
Îû
Èe@ä.
7p¨Bé&
#´Îgx©
OÎgøn=tæ
ô`ÏiB
öNÍkŦàÿRr&
( $uZø¤Å_ur
Î/
#´Íky
4n?tã
ÏäIwàs¯»yd
4 $uZø9¨tRur
øn=tã
|=»tGÅ3ø9$#
$YZ»uö;Ï?
Èe@ä3Ïj9
&äóÓx«
Yèdur
ZpyJômuur
3uô³ç0ur
tûüÏJÎ=ó¡ßJù=Ï9
ÇÑÒÈ
Artinya
: “(dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami
bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri
dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan
Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”[3]
Pada
ayat di atas memberikan pengertian bahwa kata Al-Qur’an (dalam bahasa Arab)
merupakan bentuk mashdar yang
maknanya sejajar (parallel) dengan
kata qira’ah, yang berarti “bacaan”.
Dengan
mengikuti beberapa pendapat di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa secara lugnawy
(bahasa) Al-Qur’an berarti saling berkaitan, berhubungan antara satu ayat
dengan ayat lain, dan berarti pula bacaan. Semua pengertian ini memperlihatkan
kedudukan Al-Qur’an sebagai kitabullah yang ayat-ayat dan surat-suratnya saling
berhubungan, dan ia merupakan bacaan bagi kaum muslimin.
Dari
segi istilah, para ahli memberikan beberapa definisi Al-Qur’an. Menurut Manna’
al-Qaththan, Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Muhammad SAW
dan membacanya adalah ibadah. Menurut al-Zarqani Al-Qur’an itu adalah lafal
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dari permulaan surat al-Fatihah
sampai akhir surat al-Naas. Sedangkan Abdul Wahhab Khallaf mengemukakan
definisi Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada hati Rasulullah,
Muhammad bin Abdullah melalu al-Ruhul Amin (Jibril as) dengan lafal-lafalnya
yang berbahasaArab dan maknanya benar, agar ia menjadi undang-undang bagi
manusia, memberi petunjuk kepada mereka, dan menjadi sarana pendekatan diri dan ibadah kepada Allah
dengan membacanya.[4]
Dari
definisi-definisi itu, terdapat keistimewaan Al-Qur’an : Susunan bahasanya yang
unik dan mempesona; Sifat agung yang tidak seorang pun mampu mendatangkan hal
yang serupa; Bentuk undang-undang yang komprehensif melebihi undang-undang
buatan manusia; Memuat pengetahuan yang tidak bertentangan dengan pengetahuan
yang dipastikan kebenarannya; Memenuhi segala kebutuhan manusia; Mengandung
makna-makna yang dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami bahasanya walaupun
tingkat pemahaman mereka berbeda; Sesuai dengan kecenderungan, interest, dan
motivasi mufassir; Sesuai dengan misi yang diemban; Kedalaman dan ragam ilmu
yang dikuasai, serta kemampuan membangun karakter dan kondisi sosio kultural
masyarakat yang dihadapi.[5]
B.
Cara
dan Proses Turunnya Al-Qur’an
Al-Qur’an
diturunkan secara berangsur-angsur dalam waktu lebih kurang 23 tahun. 13 tahun
selama Rasulullah di Mekkah dan 10 tahun selama beliau hidup di Madinah. Al-Qur’an
diturunkan kepada Rasulullah melalui wahyu dengan perantara Malaikat Jibril, di
bawah ini akan diuraikan pengertian dari wahyu dan proses turunnya Al-Qur’an.
1. Pengertian
Wahyu
Menurut Muhammad
Syahrur yang dikutip oleh Aksin Wijaya wahyu dalam bahasa Arab berasal dari fi’il Madhi “waha’ yang berarti
penyampaian pengetahuan pada orang lain secara samar dan orang tersebut
memahami apa yang disampaikannya.[6]
Wahyu dapat diartikan sebagai ilham sebagaimana dalam firman Allah SWT (Q.S.
al-Qashash [28]:7) :
!$uZøym÷rr&ur
#n<Î)
ÏdQé& #ÓyqãB
÷br&
ÏmÏèÅÊör& (
.....................ÇÐÈ
Artinya : “dan
Kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah Dia, ……..”[7]
Wahyu
dapat pula diartikan sebagai isyarat, sebagaimana dalam firman Allah SWT. (Q.S.
Maryam [19]:11) :
yltsmú
4n?tã
¾ÏmÏBöqs%
z`ÏB
É>#tósÏJø9$#
#Óyr÷rr'sù
öNÍkös9Î)
br&
(#qßsÎm7y
Zotõ3ç/
$|ϱtãur
ÇÊÊÈ
Artinya
: “Maka ia keluar dari mihrab menuju
kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di
waktu pagi dan petang.”[8]
Kata
wahyu bermakna perintah tertera dalam firman Allah (Q.S. al-Anfal [8]: 12) :
øÎ)
ÓÇrqã
y7/u
n<Î)
Ïps3Í´¯»n=yJø9$#
ÎoTr&
öNä3yètB
(#qçGÎm;sWsù
úïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
4 ÇÊËÈ…..
Artinya:
“(ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan
kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku bersama kamu, Maka teguhkan
(pendirian) orang-orang yang telah beriman"……”[9]
Dari
penjelesan di atas, maka menurut Yunahar Ilyas dapat dipahami bahwa wahyu dapat
diartikan secara luas karena melihat dari sudut pandang kebahasaan. Jika
dilihat sebagai sebuah istilah syariat memiliki dua makna. Pertama, kalam Allah SWT yang diturunkan pada Nabi-Nya. Kedua, suatu pemberian informasi oleh
Allah kepada nabi-Nya tentang hal-hal yang dikehendaki Allah, baik berupa hukum
syariat atau risalah kenabian yang bersifat rahasia dan di luar kebiasaan sistem
komunikasi manusia.[10]
2. Cara-cara
Al-Qur’an diwahyukan
Pada
saat menerima wahyu, Nabi Muhammad mengalami berbagai cara dan keadaan, yaitu[11]
:
a. Malaikat
memasukkan wahyu itu ke dalam hatinya. Nabi Muhammad tidak melihat apapun,
beliau hanya merasa bahwa kalam tersebut sudah berada di dalam kalbunya.
b. Malaikat
menampakkan dirinya kepada Rasulullah berupa seorang laki-laku yang mengucapkan
kata-kata kepadanya sehingga beliau mengetahui dan hafal akan kata-kata itu.
c. Wahyu
datang seperti gemerincing lonceng. Cara ini sangat berat dirasakan oleh Rasulullah.
Kadang-kadang keningnya berpancaran keringan, meskipun turunnya wahyu itu di
musim yang sangat dingin. Kadang-kadang unta beliau terpaksa berhenti dan duduk
karena merasa amat berat, saat beliau sedang mengendarai unta.
d. Malaikat
menampakkan dirinya kepada Rasulullah, tidak berupa seorang laki-laki, tetapi
benar-benar seperti rupanya yang asli. Hal ini dijelaskan dalam Q.S. An
Najm:13-14 :
ôs)s9ur
çn#uäu
»'s!÷tR
3t÷zé&
ÇÊÌÈ yZÏã
ÍouôÅ
4ygtFZçRùQ$#
ÇÊÍÈ
Artinya:
“dan Sesungguhnya Muhammad telah melihat
Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil
Muntaha.”[12]
Menurut Mana’ul Quthan sebelum
turunnya wahyu, Rasulullah mengalami mimpi, seperti yang dikisahkan oleh Aisyah
ra. Rasulullah SAW bermimpi di waktu tidur. Dia tidak pernah bermimpi yang
seperti itu, yaitu seperti sinar fajar di waktu subuh. Demikianlah bentuk
persiapan bagi Rasulullah SAW sampai turunnya wahyu. Namun saat wahyu
diturunkan Rasulullah selalu dalam keadaan terjaga.[13]
3. Hikmah
Turunnya Al-Qur’an Secara Berangsur-angsur
Menurut
Muhammad Bin Jamil Zainu terdapat dua hikmah turunnya Al-Qur’an secara
berangsur-angsur, yaitu[14]
:
a. Mengokohkan
hati Nabi Muhammad SAW
Hal ini ditegaskan oleh
Allah SWT dalam firmannya yang berbunyi:
tA$s%ur
tûïÏ%©!$#
(#rãxÿx.
wöqs9
tAÌhçR
Ïmøn=tã
ãb#uäöà)ø9$#
\'s#÷Häd
ZoyÏnºur
4 y7Ï9ºx2
|MÎm7s[ãZÏ9
¾ÏmÎ/
x8y#xsèù
( çm»oYù=¨?uur
WxÏ?ös?
ÇÌËÈ
Artinya : “ Berkatalah orang-orang yang kafir:
"Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?";
demikianlahsupaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara
tartil (teratur dan benar).[15]
b. Tahadda wal
I’jaz (Tantangan dan Daya Mukjizat)
Orang-orang
kafir
mengejek atas diturunkannya
Al-Qur’an secara
berangsur-angsur,
Allah pun menantang mereka untuk mendatangkan surat-surat yang hampir sama,
namun mereka lemah dan tidak mampu. Seperti yang dikatakan oleh Aisyah ra.
Bahwa “Sesungguhnya surat yang mula-mula turun adalah surat pendek yang
didalamnya disebutkan adanya surge dan neraka sehingga jika manusia telah
memeluk Islam, maka diturunkan tentang ayat halal dan haram. Seandainya ayat
yang pertama kali turun adalah “janganlah kalian meneguk khamar” pastilah
mereka akan berkata: “kami tidak akan meninggalkan khamar selamanya”. Kalau ayat
yang pertama kali diturunkan: “Janganlah kamu berzina”, pasti mereka akan
menjawab: “Kami tidak akan meninggalkan zina selamanya.” (HR Bukhari)
C.
Al-Qur’an
pada Masa Rasulullah SAW
Mulanya ayat-ayat hanya
dihafal dalam dada, yang mula-mula hafal dan pandai membacanya hanya Rasul SAW.
Beliau senantiasa menunggu akan turunnya dan hendak membacanya. Oleh sebab itu,
turunlah firman Allah SWT dalam surah Al-Qiyaamah16-18[16]
:
w
õ8ÌhptéB
¾ÏmÎ/
y7tR$|¡Ï9
@yf÷ètGÏ9
ÿ¾ÏmÎ/
ÇÊÏÈ ¨bÎ)
$uZøn=tã
¼çmyè÷Hsd
¼çmtR#uäöè%ur
ÇÊÐÈ #sÎ*sù
çm»tRù&ts%
ôìÎ7¨?$$sù
¼çmtR#uäöè%
ÇÊÑÈ
Artinya : “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk
(membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas
tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya
itu.”[17]
Menurut
Sanusi Lathif (t.t.:12) yang dikutip oleh Athailah, setiap kali ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya, beliau
segera menyampaikannya kepada para sahabat ra seperti yang telah beliau terima
dari Malaikat Jibril, tanpa perubahan, pengurangan dan penambahan sedikit pun.
Rasul juga menganjurkan para sahabat untuk menyampaikannya
lagi kepada sahabat lain terutama para
anggota keluarganya yang telah
memeluk Islam.[18]
Menurut
Muhammad Ali al-Shabuni yang dikutip oleh Athailah umumnya, bangsa Arab
termasuk para sahabat adalah orang-orang yang ummi (tidak bisa menulis dan membaca). Namun, mereka memiliki
ingatan yang kuat dan menakjubkan sebagaimana yang lazim dijumpai di kalangan
masyarakat yang masih buta huruf.[19]
Para
sahabat merasa berkewajiban mempelajari dan menghafal Al-Qur’an, melihat
semangat tersebut, Rasulullah pun menunjuk secara resmi beberapa orang sahabat
untuk menjadi guru Al-Qur’an dengan latar belakang yang berbeda-beda. Mereka
adalah Abdullah ibn Mas’ud (Seorang pekerja), Salim (mantan budak), Mu’az dan
Ubay ibn Ka’ab adalah tokoh-tokoh yang terkemuka di Madinah.
Selain itu, Rasul menyuruh beberapa
tokoh sahabat beliau seperti Ali bin Abu Thalib, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin
Tsabit dan Mu’awiyah untuk menuliskannya dan menunjukkan di surat mana
letaknya. Pada masa itu, ayat-ayat ditulis pada daun kering, kulit binatang
kering, pelepah korma kering, perca-perca, pecahan alat dari tanah liat, dan
tulang-tulang yang bersih. Lalu para sahabat akan membacakan tulisannya kepada
Rasulullah untuk mengecek kebenarannya.[20]
Menurut
Natsir Arsyad Tiga Belas Tokoh Penghimpun Al-Qur’an pada Masa Rasulullah SAW,
yaitu : Ali; Abdullah bin Mas’u; Zaid bin Tsabit; Sa’ad bin Ubaid bin Nu’aim bin Qais bin Amr bin Zaid Al-Anshari
Al-Ausi; Abu Darda’ Uwaimar bin Zaid;
Mu’adz bin Jabal bin Amr bin Aus; Abu Said bin Qais Abul Mundzir
Al-Anshari Al-Khazraji (salah seorang sahabat yang terbaik bacaannya sesudah
Ali); Ubaid bin Muawiyah; Ubadah bin Shamit; Mujma bin Jariyah; Abu Ayyub Al-Anshari;
dan Salim bin Ma’qal.[21]
Di
dalam tarikh Fath-al-Bari, jilid 9, yang dikutip oleh Hazrat Mirza Bashur dalam
bukunya, 15 diantara yang ditugaskan Rasulullah untuk mencatat wahyu, yaitu: Zaid
bin Tsabit; Ubay bin Ka’b; Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarh; Zubair bin Al-Awwam;
Khalid bin Sa’id bin al-‘As; Hanzala bin al-Rabbi al-Asadi; Mu’aiqib bin Abi
Fatima; Abdullah bin Arqam al-Zuhri; Syurahbil bin Hasana; Abdullah bin Rawah;
Abu Bakar; Umar; Usman; Ali.[22]
Pada
Masa Rasulullah saw ayat-ayat Al-Qur’an telah disusun beliau satu per satu
secara berurutan dalam surat masing-masing. Para sahabat juga jika membaca dan
menghafal Al-Qur’an selalu mengikuti susunan ayat yang telah mereka dengar dari
Rasulullah. Begitu pun dengan susunan surat yang telah ditetapkan oleh
Rasulullah atau secara tauqifi bukan ijtihad.[23]
D.
Al-Qur’an
pada Masa Abu Bakar dan Umar ra
Pada permulaan kekhalifahan Abu
Bakar, ada banyak golongan bangsa Arab yang murtad. Untuk menghadapi hal itu,
beliau memerangi mereka, sehingga di Yamamah banyak yang gugur syahid. Di
antara mereka ialah orang-orang yang hafal Al-Qur’an sebanyak 70 orang. Maka
Umar bin Khatab mengusulkan agar Al-Qur’an dikumpulkan dan ditulisan, agar
tidak sia-sia dan terlupakan. Awalnya, Abu Bakar menolak usulan itu, dengan
alasan hal tersebut tidak dilakukan pada masa Nabi Muhammad. Namun setelah
dibukakan hatinya Umar, maka Khalifah Abu Bakar mengutus Zaid bin Tsabit untuk
mengumpulkan Al-Qur’an. Mulanya, Zaid pun menolak dengan alasan yang sama
dengan Abu Bakar. Namun akhirnya, beliau mematuhinya.[24]
Pengumpulan
Al-Qur’an oleh Zaid bin Tsabit dilakukan dalam dua tahap, yaitu meneliti
Al-Qur’an dengan seksama dan mengumpulkan hasil penelitian tersebut ke dalam
suatu bundelan yang kemudian disebut mushaf. Meskipun Zaid bin Tsabit hafal
seluruh isi Al-Qur’an, penulis wahyu terbanyak dan orang yang menyaksikan
bacaan Nabi di hadapan Jibril untuk terakhir kalinya tetapi Zaid tidak memiliki
catatan-catatan saat Nabi masih berada di Mekkah. Maka dibentuklah panitia
untuk membantu Zaid. Proses pengumpulan Al-Qur’an tersebut membutuhkan waktu
satu tahun dengan dua metode. Pertama, yang
diteliti dan dikumpulkan, hanyalah catatan-catatan Al-Qur’an yang asli dan
telah ditulis di hadapan Rasulullah, bukan yang berasal dari hafalan saja. Kedua, catatan-catatan Al-Qur’an
tersebut harus dibuktikan kebenarannya oleh dua orang saksi.[25]
Setelah
proses pengumpulan itu selesai, maka mushaf yang disusun oleh Zaid resmi
digunakan untuk dijadikan acuan kaum muslimin suatu hari nanti.
E.
Al-Qur’an
pada Masa Umar ra
Setelah
Khalifah Abu Bakar ra wafat pada 13 H, maka yang menggantikannya adalah Umar
bin Khattab ra. Mushaf Al-Qur’an yang sebelumnya disimpan oleh Abu Bakar, kini
disimpan oleh Umar. Selama masa pemerintahan Umar, tidak ada langkah-langkah
baru yang dilaksanakannya terhadap mushaf yang disimpannya tersebut. Hal ini
karena situasi dan kondisi belum menghendaki demikian. Selain itu, para sahabat
pun sudah tentram dengan terkumpulnya Al-Qur’an dalam mushaf resmi ini.
Perhatian Umar bin Khattab lebih terfokus pada pengajaran Al-Qur’an ke seluruh
negeri Islam dan pengawasan terhadap qira’at yang dipakai kaum muslimin dalam
membaca Al-Qur’an.
Setelah
Umar ra tewas dibunuh oleh Abu Lu’luah seorang Nasrani, maka mushaf resmi
tersebut disimpan oleh Hafshah putri Umar yang juga merupakan janda Rasulullah.[26]
F.
Al-Qur’an
pada Masa ‘Utsman ra
Utsman
ra ditunjuk sebagai khalifah ketiga menggantikan Umar bin Khathab.
Masa
pemerintahan ‘Utsman ditandai dengan berbagai macam penaklukan dan perluasan
wilayah. Karena pemerintah dan kaum muslim fokus pada penaklukan danperluasan
wilayah, maka masalah pengajaran Al-Qur’an diserahkan sepenuhnya kepada mereka
yang hafal Al-Qur’an.
Di
samping Negara sudah memiliki mushaf resmi, ada para sahabat yang juga memiliki
mushaf pribadi. Oleh sebab itu, beberapa sahabat yang menetap di luar Madinah
dan menjadi guru Al-Qur’an di sana, maka mushaf-mushaf pribadi tersebut menjadi
pegangan mereka. Menurut Ibn Katsir, mushaf Ubay ibn Ka’ab dipakai di Damaskus,
mushaf Miqdad di Himsh, mushaf Ibn Mas’ud di Kufah dan mushaf Abu Musa
al-Asy’ari di Basrah.
Mushaf-mushaf
tersebut tidak seragam terutama dalam bacaannya. Akibat dari perbedaan itu,
menimbulkan pertikaian yang tajam antara sesame kaum muslim. Hal ini disaksikan
oleh Huzaifah ibn al-Yamani, yang kemudian melahirkan gagasan dalam dirinya
untuk mengusulkan kepada Khalifah Utsman agar sesegera mungkin bertindak untuk
menyeragamkan mushaf Al-Qur’an pada satu qira’at atau bacaan saja.
Setelah
mendapatkan laporan Huzaifah dan beberapa orang, maka Utsman mengumpulkan para
sahabat dan meminta pendapat para sahabat. Para sahabat pun sepakat untuk
menyeragamkan mushaf Al-Qur’an pada satu qira’at. Beberapa langkah yang
dilakukan Utsman untuk merealisasikan ide penyeragaman tersebut adalah:
Pertama,
meminjam mushaf resmi yang telah dikerjakan oleh Zaid pada masa Abu Bakar
kepada Hafsah untuk ditulis ke dalam beberapa mushaf. Kedua, membentuk sebuah panitia yang terdiri beberapa orang, yang
diketuai oleh Zaid bin Tsabit. Tugas panitia ini adalah menyalin kembali mushaf
yang telah dipinjam dari Hafsah ke dalam beberapa mushaf, panitia meneliti
kelengkapan dari mushaf resmi itu kalau-kalau ada ayat yang tercecer atau
hilang. Ketiga, Mushaf-mushaf yang
telah diselesaikan oleh panitia itu kemudian dikirim ke berbagai pusat negeri
Islam. Keempat, memerintahkan kepada
kaum Muslim di seluruh negeri Islam untuk membakar semua mushaf dan
catatan-catatan Al-Qur’an yang tidak sesuai dengan mushaf Al-Qur’an yang telah
mereka terima.
Mulanya,
orang-orang yang mempercayai mushaf Ibn Mas’ud tidak mempercayai akan
penyeragaman Al-Qur’an yang dilakukan oleh Utsman, hal ini dikarenakan
kesalahpahaman Ibn Mas’ud yang menduga bahwa penulisan mushaf imam hanya
dilakukan oleh Zaid bin Tsabit seorang diri. Namun, setelah mengetahui
kesalahpahamannya akhirnya Ibn Mas’ud dapat menerima mushaf imam.
Maka,
mulailah diperbanyak penyalinan mushaf imam ini, selama pelaksanaan penyalinan
mushaf Al-Qur’an tersebut, tidak terdapat perselisihan pendapat antara Zaid
dengan anggota panitia yang lain, keculi masalah lafal. Jadi, perbedaan yang
terdapat dalam penyalinan mushaf ini hanyalah perbedaan kecil dalam mengucapkan
dan menuliskan sebuah lafal, sedangkan pengertiannya tidak mengalami perubahan.
Dengan demikian penyalinan mushaf Utsmani ini dilakukan dengan teliti sekali
dan tidak pernah menyimpang dari mushaf resmi yang dihimpun pada masa Abu Bakar
walau sekecil apapun.
Dengan
demikian, maka pembukuan Al-Qur’an di masa Utsman ra memiliki beberapa faedah,
di antaranya[27]:
1. Menyatukan
kaum muslimin pada satu macam mushaf.
2. Menyatukan
bacaan, dan walaupun masih ada kekeliruan, tapi bacaan tersebut tidak
berlawanan dengan ejaan mushaf Utsman.
3. Menyatukan
tertib susunan surat-surat, menurut tertib surat seperti yang ada saat ini.
G.
Al-Qur’an
Pada Masa Pasca ‘Utsman ra
Pada
masa Utsman, tulisan yang dipakai oleh para sahabat dalam menyalin mushaf
Utsmani adalah tulisan kufi yang masih sederhana sekali, belum memakai titik
dan tanda baca seperti yang dibaca sekarang ini. Mulanya, ini tidak menjadi
masalah karena orang Arab tidak mengalami kekeliruan dalam membaca ini. Namun,
setelah Islam tersebar luas ke luar Jazirah Arab dan bangsa Arab mulai
berhubungan dengan bangsa lain, mulailah muncul kerusakan dalam bahasa mereka
dan kesalahan membaca Al-Qur’an.
Hal
ini menimbulkan keprihatinan pada penguasa Daulah Umawiyah terhadap autentitas
Al-Qur’an. Karena itu, mereka pun memikirkan untuk membuat tanda baca yang
dapat membantu kaum muslimin dalam membaca Al-Qur’an secara benar dan terhindar
dari salah baca.
Para
penguasa yang telah berjasa dalam bidang ini adalah Ubaidillah ibn Ziyyad bin
Abihi (67 H) Gubernur Bashrah, dan al-Hajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafi (95 H)
Gubernur Iraq. Ibn Ziyyad meminta Abu al-Aswad salah seorang tokoh dan peletak
dasar kaidah-kaidah ilmu nahwu (tata
bahasa Arab) untuk membuatkan tanda-tanda membaca Al-Qur’an.
Menurut
Sanusi Lathif yang dikutip oleh Athailah tanda-tanda baca yang dibuat oleh Abu
al-Aswad tersebut berupa titik berwarnah merah yang ditempatkan pada huruf
terakhir suatu kata. Penempatan titik tersebut sebagai berikut:
1. Untuk
tanda fathah (a) dengan satu titik di
atas huruf.
2. Untuk
tanda kasrah (i) dengan satu titik di
bawah huruf.
3. Untuk
tanda dammah (u) dengan satu titik di sebelah kiri huruf
4. Untuk
tanda sukun dengan dua titik.
Namun,
sangat disayangkan karena tanda-tanda tersebut masih belum bisa menghindarkan
dari salah baca secara tuntas. Sebab, tanda itu belumbisa membedakan antara dua
huruf atau beberapa huruf yang sama bentuknya, tetapi dibaca berlainan. Misalnya,
menentukan huruf ba, ta, dan tsa,
atau ‘ain, ghain atau fa, qaf dan seterusnya. Untuk memecahkan
masalah itu, Al Hajjaj kemudian menginstruksikan Nashr ibn ‘Ashim dan Yahya ibn
‘Amir untuk menyempurnakan tanda yang telah dibuat guru mereka. Nashr dan Yahya
kemudian membuat tanda yang diletakkan pada huruf-huruf yang sama bentuknya
agar mudah dibedakan antara satu dengan yang lain. Tanda tersebut berupa garis
sudut menyudut (diagonal) pendek, seperti (/) yang diletakkan di atas atau di
bawah huruf bergandengan dengan huruf lain. Misalnya huruf ba diberi tanda ﺏ , ta diberi tanda ﺖ , tsa diberi tanda ﺙ , dan seterusnya. Garis-garis diagonal tersebut ditulis dengan
tinta yang sama warnanya dengan warna tulisan hurufnya. Hasil rumusan Nashr dan
Yahya dipakai selama pemerintah Daulah Umawiyah hingga permulaan pemerintah
Daulah Abbasiyah.
Perubahan
dan penyempurnaan tulisan dan tanda baca Al-Qur’an baru terwujud secara
tuntas melalui upaya seorang
pakar tata bahasa Arab yang
termahsyur, al-Khalil bin Ahmad
al-Farahidi. Tanda-tanda tersebut adalah :
1.
Huruf alif kecil yang
terletak miring (diagonal) di atas huruf sebagai tanda fathah (a)
2.
Huruf ya kecil yang terletak di bawah huruf
sebagai tanda kasrah (i)
3.
Huruf waw kecil yang terletak di atas huruf
sebagai tanda dammah (u)
4.
Kepala huruf sin di atas huruf sebagai tanda tasydid
5.
Kepala huruf ha di atas huruf sebagai tanda sukun
6.
Kepala huruf ‘ain di atas atau di bawah huruf sebagai
tanda hamzah
7.
Huruf alif, ya dan waw di belakang huruf lainnya sebagai tanda mad
8.
Titik sebagai tanda
huruf-huruf yang sama bentuknya.
Namun
dalam perkembangan selanjutnya, tanda-tanda yang dibuat oleh al-Khalil tersebut
menemui bentuknya lebih sederhana lagi. Untuk fathah dan kasrah tidak
lagi dengan huruf alif dan ya kecil,
melainkan cukup dengan garis lurus miring dan pendek seperti yang kita temui
saat ini. Sedangkan untuk dammah
tidak lagi dengan huruf waw secara
utuh, tetapi lengkungan bulat yang ada pada bagian kepalanya saja lagi yang
dipakai.
Setelah
agama Islam meluaskan sayapnya ke daerah-daerah yang berkebudayaan lama,
seperti Persia, Asia Tengah, India, Syiria, Turki, Mesir, Ethiopia dan Afrika
Utara, terjadilan pergeseran Agama Islamyang masih dalam bentuk sederhana
dengan kebudayaan lama yang sudah diolah dan berkembang.
Sejak
saat itu, kaum muslimin tidak hanya mempelajari agama, melainkan mulai
mempelajari ilmu logika, ilmu falsafah, ilmu eksakta, ilmu hukum, ilmu
ketabiban dan sebagainya. Perubahan ini menimbulkan perubahan dalam penyusunan
dan pemikiran tentang kitab tafsir. Ahli tafsir tidak lagi hanya
mengutipriwayat dari sahabat,tabi’in dan tabi’it saja, tetapi mulai
menyelidiki, meneliti dan membandingkan apa yang telah dikerjakan orang-orang
terdahulu. Bahkan, para musafir telahmenafsirkan dari segi gaya bahasa,
keindahan bahasa, dan tata bahasa.
Karena
perkembangan tersebut, terdapat banyak kitab-kitab tafsir yang dikarang dan
ditinjau dari berbagai segi, yaitu:
1. Golongan
yang meninjau dan menafsirkan Al-Qur’an dari segi gaya bahasa dan keindahan
bahasa. Seperti Az Zamakhsyari dalam tafsirnya Al Kasysyaaf.
2. Golongan
yang meninjau dan menafsirkan Al-Qur’an dari segi tata bahasa. Seperti
Alwaahadi dalam tafsirnya Al Basiith.
3. Golongan
yang menitikberatkan pembahasan pada segi kisah dan cerita-cerita yang
terdahulu. Seperti Tafsir Ats Tsa’labi.
4. Golongan
yang mengutamakan penafsiran ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum,
menetapkan hukum fikih. Seperti Al-Qurthuby dengan tafsirnya Jami’ Ahkaamul
Quran.
5. Golongan
yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah.
Seperti Imam Ar Razy dalam tafsirnya Mafaa’tihul Ghaib.
6. Golongan
yang menitikberatkan penafsirannya kepada isyarat-isyarat Al-Qur’an yang
berhubungan dengan ilmu suluk dan tashawuf, seperti tafsir At Tasturi.
7. Golongan
yang hanya memperkatakan lafaz Al-Qur’an yang gharib (yang jarang terpakai
dalam perkataan sehari-hari) seperti kitab Mu’jam Ghariibil Qur’an.[28]
Perkembangan lain dari Al-Qur’an
adalah pembagian Al-Qur’an. Beberapa ulama membagi Al-Qur’an menjadi tiga puluh
dan menamakan setiap bagiannya juz. Kemudian dari juz tersebut dibagi lagi
menjadi empat, yang dinamakan al-Rab’ab
atau al-Rubu’,da nada juga yang
membagi juz tersebut dengan dua golongan, yang setiap golongannya dinamakan al-Hizb.[29]
ANALISA
KRITIS
Pada
pembahasan dalam makalah ini, didapati fakta bahwa Al-Qur’an diturunkan selama
kurun waktu sekitar 23 tahun dengan cara berangsur-angsur. Hal ini dikarenakan
untuk mengokohkan hati Nabi Muhammad saw dan sebagai tantangan dan daya
mukjizat. Kalau saja Al-Qur’an diturunkan secara langsung, maka tidak akan
mudah diterima begitu saja oleh orang-orang pada masa itu, lalu ayat-ayat
Al-Qur’an tersebut turun berdasarkan suatu kejadian yang terjadi pada saat itu,
atau menjawab pertanyaan yang menjadi masalah pada masa itu. Sebagai tantangan
dan daya mukjizat disini maksudnya, untuk mempertegas kaum yahudi pada masa itu
yang mengolok-olok Al-Qur’an yang turun secara berangsur-angsur. Ketika kaum
Yahudi ditantang untuk menurunkan ayat setelah bagian ayat yang disebutkan
Rasulullah, kaum yahudi pun tidak dapat melakukannya.
Fakta
lain yang ditemukan dalam makalah ini, bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada
Rasulullah melalui perantara Malaikat Jibril dengan berbagai cara. Cara-cara
itu diantaranya, dibisikkan Al-Qur’an itu ke dalam hati Nabi Muhammad,
disampaikan ketika beliau sedang dalam perjalanan, diturunkan langsung ketika
beliau isra’ miraj, dan diturunkan ketika beliau sedang menyendiri. Hal ini
menegaskan bahwa ayat-ayat dalam Al-Qur’an turun berdasarkan kebutuhan dan
kondisi masyarakat pada masa itu.
Di dalam makalah ini
juga dijelaskan bahwa perkembangan pembukuan Al-Qur’an sangat panjang. Dari
yang awalnya hanya berupa hafalan oleh Nabi Muhammad dan para sahabat dan
tulisan pada helaian daun, pelepah kering, dan tulang, hingga akhirnya menjadi
buku seperti yang ada pada kita saat ini. Pada masa Rasulullah, bangsa Arab
sangat sedikit sekali yang bisa baca tulis. Itu sebabnya bangsa Arab
mengandalkan hafalan mereka, karena walaupun tidak pandai dalam baca tulis,
bangsa Arab sangat terkenal dengan daya ingatnya yang kuat.
Al-Qur’an mulai
dikumpulkan berupa mushaf pertama kali pada masa Khalifah Abu Bakar ra. atas
usulan Utsman. Hal ini dikarenakan,
banyaknya para sahabat penghafal Al-Qur’an yang terbunuh pada perang Yamamah,
jika pengumpulan ini tidak segera dilakukan, ditakutkan para penghafal
Al-Qur’an semakin sedikit dan Al-Qur’an bisa saja punah saat itu.
Pada masa Khalifah
Utsman, terjadi perselisihan antar umat muslim, dikarenakan berbedanya cara
membaca Al-Qur’an dan banyaknya mushaf Al-Qur’an yang dibuat oleh sahabat
secara pribadi. Sehingga untuk menyelesaikan masalah tersebut, Khalifh Utsman
memutuskan untuk menyeragamkan Al-Qur’an menjadi satu, yaitu yang dikenal Rasm
Utsmani dan membakar semua mushaf yang berbeda. Banyak yang menuduh bahwa
Al-Qur’an pada masa Utsman telah banyak diubah. Namun faktanya, hal itu tidak
benar. Karena proses penyeragaman pada masa Utsman dilakukan oleh tim penghafal
Al-Qur’an pada masa Rasulullah, dan urutan susunannya pun masih sama seperti
ketika masa Rasulullah. Sehingga, terbantahlah tuduhan kaum yang meragukan
kemurnian Al-Qur’an.
Barulah pada masa pasca
Utsman Al-Qur’an dicetak dalam bentuk buku dan berbagai aksiologi yang mendasari
Al-Qur’an, mulai dari tafsir, tahsin hingga keilmuan lainnya. Semua itu dikaji
bukan untuk meragukan kemurnian dari Al-Qur’an melainkan untuk mempelajari
isi-isi yang terkandung dalam tiap ayat di Al-Qur’an, sebab-sebab diturunkannya
ayat Al-Qur’an hingga cara membaca Al-Qur’an yang indah.
Al-Qur’an yang mulanya
pesan Tuhan yang disampaikan pada manusia melalui Nabi Muhammad hanya berupa
wahyu, kini dapat kita jumpai secara fisik dengan tanda baca yang lebih
mempermudah untuk proses membacanya, dan tafsir mengenai ayat-ayat di dalamnya.
Tentunya, kemurnian Al-Qur’an tetap terjaga.
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan
yang telah penulis uraikan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan,
yaitu :
1. Al-Qur’an
adalah kitabullah yang berisi ayat-ayat yang saling berhubungan untuk dijadikan
pedoman hidup. Al-Qur’an disampaikan dengan cara wahyu dari Allah melalui
perantara Malaikat Jibril. Al-Qur’an diturunkan selama 23 tahun, 10 tahun saat
Rasulullah berada di Madinah dan 13 tahun saat Rasulullah berada di Mekkah.
2. Pada
Masa Rasulullah, Al-Qur’an hanya dihafal saja oleh sahabat-sahabat yang ingin
menghafalnya, dan setiap kali wahyu turun, Rasulullah meminta para sahabat
untuk menuliskannya. Maka Al-Qur’an dituliskan di pelepah kurma, daun kering,
dan tulang.
3. Setelah
Rasulullah wafat dan digantikan oleh Abu Bakar ra, maka Al-Qur’an dikumpulkan secara
resmi yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit, sehingga berbentuk mushaf Al-Qur’an.
4. Pada
masa Utsman bin Affan, Al-Qur’an yang pada masa Abu Bakar ra hanya berupa
mushaf, maka mulai diperbaiki dikarenakan menimbulkan pertikaian antar umat
muslim. Akhirnya, Al-Qur’an yang semula tidak memiliki tanda, maka mulai diberi
tanda sehingga memudahkan umat muslim untuk membacanya.
5. Sepeninggalnya
masa khalifah keempat sahabat Rasul tersebut, Al-Qur’an semakin mengalami
perkembangan seiring dengan meluasnya wilayah Islam ke luar jazirah Arab dan
semakin banyaknya umat muslim yang membaca Al-Qur’an. Untuk memudahkan hal
tersebut, maka huruf-huruf Al-Qur’an diberi tanda baca yang memudahkan. Mulai
dari kasrah, fathah, dammah, sukun, hingga
mad. Al-Qur’an yang mulanya hanya
berupa wahyu dari Allah kepada Nabi Muhammad, kini sudah bisa kit abaca dalam
bentuk buku yang isinya masih sesuai dengan aslinya ketika diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw.
DAFTAR
PUSTAKA
Abidin, Zainal, Seluk
Beluk Al-Qur’an, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992.
Ahmad, Hazrat Mirza Bashur Din Mahmud, Pengantar untuk Mempelajari Al-Qur’an, Jakarta:
Guna Bakti Grafika, 1989.
Arsyad, M Natsir,
Seputar Al-Qur’an Hadis dan Ilmu, Cet. Ke-IV, Bandung: Al-Bayan, 1996.
Athailah, Sejarah Al-Qur’an, Cet. Ke-1, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung:
Diponegoro, 2012.
Ilyas, Yunahar,
Kuliah Ulumul Qur’an, Cet. Ke-1,
Yogyakarta: ITQAN Publishing, 2013.
Masyhur,
Kahar, Pokok-pokok Ulumul Qur’an,
Jakarta: PT Melton Putra, 1992.
Nata, Abuddin, Al-Qur’an
dan Hadits, Cet. Ke-2, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993.
Quthan, Mana’ul, Pembahasan
Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Rineka Cipta, 1987.
Rodiah, dkk., Studi
Al-Qur’an Metode dan Konsep, Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2010.
Romdhoni, Ali,
Al-Qur’an dan Literasi, Jakarta: Literatur Nusantara, 2013.
Thalhas, T.H., Fokus Isi & Makna Al-Qur’an (Jalan
Pintas Memahami Substansi Global Al-Qur’an), Cet. Ke-1, Jakarta: Galura
Pase, 2008.
Tim Forum Karya Ilmiah Raden, Al-Qur’an Kita, Cet. Ke-1, Kediri: Lirboyo Press, 2011.
Wijaya, Aksin, Arah
Baru Studi Ulum Al-Qur’an, Cet. Ke-1,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Zainu, Muhammad
Bin Jamil, Bagaimana Memahami Al-Qur’an,
terj. Salafuddin Aj, Cet. Ke-1, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1992.
[1] Abuddin Nata, Al-Qur’an dan Hadits, Cet. Ke-2,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 50-57.
[2] Ali Romdhoni, Al-Qur’an dan Literasi, (Jakarta:
Literatur Nusantara, 2013), hlm. 52-53.
[3] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung:
Diponegoro, 2012), hlm. 577.
[4] Ibid. Abuddin Nata. Hlm.
54-55.
[5] Rodiah, dkk., Studi Al-Qur’an Metode dan Konsep, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 1.
[6]Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an, Cet.
Ke-1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009), hlm. 77.
[7] Ibid. Departemen Agama. Hlm. 386.
[8] Ibid. Hlm. 305.
[9] Ibid. hlm.
[10] Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an, Cet. Ke-1,
(Yogyakarta: ITQAN Publishing, 2013), hlm. 24-26.
[11] T.H. Thalhas, Fokus Isi & Makna Al-Qur’an (Jalan
Pintas Memahami Substansi Global Al-Qur’an), Cet. Ke-1, (Jakarta: Galura
Pase, 2008), hlm. 6-7.
[12] Ibid. Departemen Agama RI. Hlm. 526.
[13] Mana’ul Quthan, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1987), hlm. 32.
[14] Muhammad Bin Jamil
Zainu, Bagaimana Memahami Al-Qur’an, terj.
Salafuddin Aj, Cet. Ke-1, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1992), hlm. 71-77.
[15] Ibid. Departemen Agama RI. Hlm. 362.
[16] Kahar Masyhur, Pokok-pokok
Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT Melton Putra, 1992), hlm. 109
[17] Ibid. Departemen Agama RI. Hlm. 577.
[18] Athailah, Sejarah Al-Qur’an, Cet. Ke-1,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 180.
[19] Ibid.hlm. 182.
[20] Ibid. Kahar Mansyur. Hlm. 110-111.
[21] M Natsir Arsyad, Seputar Al-Qur’an Hadis dan Ilmu, Cet.
Ke-IV, (Bandung: Al-Bayan, 1996), hlm. 47
[22] HazratMirzaBashur Din
Mahmud Ahmad, Pengantar untuk Mempelajari
Al-Qur’an, (Jakarta: Guna Bakti Grafika, 1989), hlm. 430.
[23] Ibid. Athailah. Hlm. 210-212.
[24] Ibid. Kahar Mansyur. Hlm. 110.
[25] Ibid. Athailah. Hlm. 217-230.
[26] Ibid. Athailah. Hlm. 232-234.
[27] Zainal Abidin, Seluk Beluk Al-Qur’an, (Jakarta:PT
Rineka Cipta, 1992), hlm. 36.
[28] Ibid. Zainal Abidin. Hlm.
44-46.
[29] Tim Forum Karya
Ilmiah Raden, Al-Qur’an Kita, Cet.
Ke-1, (Kediri: Lirboyo Press, 2011), hlm. 73.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
kata-kata yang baik, mencerminkan pribadi seseorang.