MANTAN SAHABAT
oleh : Khadijah Anwar
“Rin, semua orang
pasti akan berubah, hanya saja berubah ke arah mana. Apa kamu mau tetap menjadi
Rindai kecil? Tentu tidak kan, begitu pun aku. Sudahlah, tak perlu kamu
permasalahkan. Kamu hanya butuh waktu untuk memahami duniaku.”
Dunia?
Dunia mana yang harus dipahaminya, dunia bahwa mereka tak dapat lagi
bersahabat. Dunia bahwa mereka seperti air dan minyak. Rindai membenci keadaan
ini.
Kata-kata
Karim kemarin sore masih selalu saja terngiang di telinganya. Dia tak bisa
mencerna kalimat Karim dengan pasti. Dia kehilangan Karim sahabatnya.
“Karim
dan Rindai akan selalu bersahabat sampai mati nanti.” Ujar Karim 3 tahun lalu
di kantin sekolah sambil mengacungkan jari kelingkingnya.
Ingatan
Rindai melambung saat-saat manis persahabatan mereka. Saat Rindai bisa menangis
sepuasnya di pundak Karim, saat ia bisa tertawa bersama menertawakan apa pun,
sekalipun tidak lucu. Saat mereka menghabiskan es krim berdua di bangku Taman Polda.
Saat mereka bolos sekolah karena terlambat datang. Padahal, Karim adalah siswa
cerdas di sekolahnya dengan segudang prestasi dan nilai baik tentangnya.
Sejak
satu tahun kelulusannya dari SMA, Karim menjauh, sulit untuk dihubungi. Karim
yang merupakan siswa akselerasi, lebih dahulu melanjutkan kuliahnya di universitas
unggulan di Palembang. Sementara Rindai baru menyelesaikan sekolahnya satu
tahun setelah kelulusan Karim, dan hanya mampu melanjutkan ke universitas
swasta di Palembang. Kini, mereka bertemu kembali dalam sebuah organisasi
mahasiswa. Namun, semua tidak lagi sama.
“Harus
ada batas di antara kita.”
“Huah,
batas apa Rim, apa mulai sekarang kau akan membangun tembok pemisah di antara
kita setiap bertemu. Aneh sekali kau ini, Rim.” Ujar Rindai mencoba bergurau
mendengar kata-kata Karim.
Batas
apa? Dulu mereka bersahabat baik-baik saja. Tidak perlu ada batas apa pun.
Kenapa sekarang serba aneh. Harus ada batas, berbeda, perubahan, pahami. Ah,
semua kata-kata itu membuat Rindai sulit memahaminya.
Rindai
menyukai perubahan Karim yang semakin baik, hanya saja kenapa harus menjauh
darinya. Kenapa persahabatan itu harus dilupakan. Apa karena dia malu
bersahabat dengan orang sepertinya? Karena dia tidak lebih pintar atau sama
pintarnya dengan ia.
“Kau
kenapa, Rindai?” tanya Isna membuyarkan lamunannya. “Kau menangis? Ada yang
menyakitimu?” tanyanya lagi.
“Mana
mungkinlah aku menangis, apa yang harus aku tangisi,”
Rindai
bergegas menyapu bulir yang tak dirasakanya luruh. Dia tidak pernah mau teman
satu kosnya itu mengetahui kegundahan yang tengah dirasakannya.
“Kau memikirkan
Karim?” tanyanya lagi.
***
“Ada apa, Rin. Tak bisakah kita bicara
di sekretariat saja. Tidak harus berdua seperti ini. Tak enak dilihat orang.”
“Aku merindukan kau yang dulu, Karim
sahabatku. Sekarang kau seperti orang asing bagiku, padahal kita begitu dekat
dulu. Mana persahabatan yang kita janjikan akan kekal dulu? Aku ingin berbagi
cerita banyak hal padamu, aku pun ingin mendengar banyak cerita dari
prestasimu, bukankah sudah lebih dari satu tahun kita tidak bertemu?”
“Rin,
jangan pernah tanyakan itu lagi. Kamu akan memahaminya nanti, bertahanlah di
organisasi ini. Cobalah membuka diri dengan orang-orang baru di sekitarmu,
mereka semua orang baik dan bisa menjadi sahabat terbaikmu, pengganti aku.
Karena kita tidak mungkin lagi bersahabat seperti dulu. Kita berbeda, tak
mungkin bisa bersahabat seperti dulu lagi. Tapi tenang, aku akan memenuhi
janjiku dulu. Bagiku, kamu tetap sahabat terbaik yang pernah aku miliki dulu.”
Suaranya tenang.
Jika
selama ini yang ia tahu ada mantan suami, ada mantan pacar, mantan majikan dan
berbagai mantan lainnya. Baru kali ini ia harus menerima kenyataan ada mantan
sahabat, dan terjadi pada dirinya.
Rindai
mendekati jendela kamarnya, melihat jalanan. “Kamu akan memahaminya nanti, bertahanlah di organisasi ini”
Potongan kalimat Karim kembali menghantui. Apa yang diinginkan Karim, meminta
Rindai tetap bertahan di organisasi ini. Apa mungkin di organisasi ini dia akan
mampu memahami keinginan Karim. Sesuatu yang rasanya terlalu sulit untuk
dipahami.
“Persahabatan
kalian memang jelas berbeda, Rindai.”Suara Isna masuk memecah lamunan Rindai.
“Perbedaan
apa yang kamu tahu?” ujarnya dingin.
“Coba
kamu lihat, Karim yang sekarang tentu bukan Karim kamu yang dulu, dia telah
menjelma menjadi seorang ikhwan.”
Rindai
mencoba mencernanya dengan baik. Ikhwan, dia
pernah mendengar kata itu dari bibir Isna juga. Isna menceritakan banyak hal
tentang ikhwan dan akhwat. Jika diperhatikan, Karim
sekarang memang seperti ciri-ciri ikhwan yang
pernah diutarakan Isna. Dia lebih religius, ibadahnya mantap, pola pikirnya
lebih maju dan dewasa, dia pun tidak pernah terlihat terlalu dekat dengan
wanita. Atau… itu alasannya?
“Laki-laki
dan perempuan yang bukan muhrimnya itu, tidak bisa bersahabat layaknya sesama
laki-laki atau sesama perempuan. Persaudaraan mereka terbatas sebatas saudara
seagama, tak boleh lebih. Kecuali, jika persahabatan itu dibingkai dalam
bahtera rumah tangga.” Lanjut Isna tenang.
“Kami
tidak pernah melakukan hal-hal yang dilarang di dalam Islam.” Bantah Rindai
tegas.
Isna
menarik kursi, duduk di sebelah Rindai. “Sekarang jawab dengan jujur ya, jika
kamu sedang ada masalah, kamu tentu mengadu dengannya, bukan?”
Rindai
menjawab dengan anggukan.
“Lalu,
kamu akan menangis di pundaknya?” lagi-lagi Rindai hanya menjawabnya dengan
anggukan. “Nah, itu dia Rindai. Berduaan dengan yang bukan muhrimnya saja sudah
sebuah dosa, apa lagi kamu menangis di pundaknya.”
***
“Tanggal 31 Januari kan, wisudanya?” tanya
Isna
“Iya
nih, akhirnya selesai juga ya. Hehe,”
Tidak
terasa, waktu bergulir begitu cepat. Dua tahun telah berlalu setelah
perdebatanku dengan Isna malam itu. Aku sama sekali tidak begitu memikirkan
persahabatanku dengan Karim lagi. Setelah sekian lama berusaha memahami tiap
kalimatnya, kini aku paham bahkan sangat memahaminya. Aku dan dia memang
benar-benar berbeda.
“Oh ya,
ini dari Mba’ Yun tadi, dia lupa memberikannya saat kholaqoh tadi. Pesan Mba’ Yun tadi, baca saja dulu, setelah itu,
baru tanya sama beliau.” Ujar Isna memberikan sebuah amplop berwarna merah
muda. “Aku mau Ashar dulu, tadi belum shalat.”
Ada
tanya yang terlampau besar dibenakknya. Mba’ Yun, murabbinya menitipkan sepucuk surat. Apa mungkin? Rindai tak ingin menunggu lebih lama lagi, dia
bergegas membuka isi suratnya.
Aku tidak pernah membencimu, bahkan
berniat untuk menjauhimu. Jarak yang ada di antara kita selama ini, hanya
caraku untuk menyiapkan diri menjadi pantas untuk meminangmu. Aku ingin kamu
menjadi sahabatku, bukan sekadar di dunia, tapi juga di akhirat kelak.
Berjalanlah bersamaku, menyelesaikan masalah ummat yang begitu pelik.
-Abdul Karim Muzakir-
TAMAT
Palembang,
24 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
kata-kata yang baik, mencerminkan pribadi seseorang.