Minggu, 28 April 2013

Cerpen "Mantan Sahabat"

MANTAN SAHABAT
oleh : Khadijah Anwar



          “Rin, semua orang pasti akan berubah, hanya saja berubah ke arah mana. Apa kamu mau tetap menjadi Rindai kecil? Tentu tidak kan, begitu pun aku. Sudahlah, tak perlu kamu permasalahkan. Kamu hanya butuh waktu untuk memahami duniaku.”
Dunia? Dunia mana yang harus dipahaminya, dunia bahwa mereka tak dapat lagi bersahabat. Dunia bahwa mereka seperti air dan minyak. Rindai membenci keadaan ini.
Kata-kata Karim kemarin sore masih selalu saja terngiang di telinganya. Dia tak bisa mencerna kalimat Karim dengan pasti. Dia kehilangan Karim sahabatnya.
“Karim dan Rindai akan selalu bersahabat sampai mati nanti.” Ujar Karim 3 tahun lalu di kantin sekolah sambil mengacungkan jari kelingkingnya.
Ingatan Rindai melambung saat-saat manis persahabatan mereka. Saat Rindai bisa menangis sepuasnya di pundak Karim, saat ia bisa tertawa bersama menertawakan apa pun, sekalipun tidak lucu. Saat mereka menghabiskan es krim berdua di bangku Taman Polda. Saat mereka bolos sekolah karena terlambat datang. Padahal, Karim adalah siswa cerdas di sekolahnya dengan segudang prestasi dan nilai baik tentangnya.
Sejak satu tahun kelulusannya dari SMA, Karim menjauh, sulit untuk dihubungi. Karim yang merupakan siswa akselerasi, lebih dahulu melanjutkan kuliahnya di universitas unggulan di Palembang. Sementara Rindai baru menyelesaikan sekolahnya satu tahun setelah kelulusan Karim, dan hanya mampu melanjutkan ke universitas swasta di Palembang. Kini, mereka bertemu kembali dalam sebuah organisasi mahasiswa. Namun, semua tidak lagi sama.
“Harus ada batas di antara kita.”
“Huah, batas apa Rim, apa mulai sekarang kau akan membangun tembok pemisah di antara kita setiap bertemu. Aneh sekali kau ini, Rim.” Ujar Rindai mencoba bergurau mendengar kata-kata Karim.





Batas apa? Dulu mereka bersahabat baik-baik saja. Tidak perlu ada batas apa pun. Kenapa sekarang serba aneh. Harus ada batas, berbeda, perubahan, pahami. Ah, semua kata-kata itu membuat Rindai sulit memahaminya.
Rindai menyukai perubahan Karim yang semakin baik, hanya saja kenapa harus menjauh darinya. Kenapa persahabatan itu harus dilupakan. Apa karena dia malu bersahabat dengan orang sepertinya? Karena dia tidak lebih pintar atau sama pintarnya dengan ia.
“Kau kenapa, Rindai?” tanya Isna membuyarkan lamunannya. “Kau menangis? Ada yang menyakitimu?” tanyanya lagi.
“Mana mungkinlah aku menangis, apa yang harus aku tangisi,”
Rindai bergegas menyapu bulir yang tak dirasakanya luruh. Dia tidak pernah mau teman satu kosnya itu mengetahui kegundahan yang tengah dirasakannya.
“Kau memikirkan Karim?” tanyanya lagi.
***
        “Ada apa, Rin. Tak bisakah kita bicara di sekretariat saja. Tidak harus berdua seperti ini. Tak enak dilihat orang.”
        “Aku merindukan kau yang dulu, Karim sahabatku. Sekarang kau seperti orang asing bagiku, padahal kita begitu dekat dulu. Mana persahabatan yang kita janjikan akan kekal dulu? Aku ingin berbagi cerita banyak hal padamu, aku pun ingin mendengar banyak cerita dari prestasimu, bukankah sudah lebih dari satu tahun kita tidak bertemu?”
“Rin, jangan pernah tanyakan itu lagi. Kamu akan memahaminya nanti, bertahanlah di organisasi ini. Cobalah membuka diri dengan orang-orang baru di sekitarmu, mereka semua orang baik dan bisa menjadi sahabat terbaikmu, pengganti aku. Karena kita tidak mungkin lagi bersahabat seperti dulu. Kita berbeda, tak mungkin bisa bersahabat seperti dulu lagi. Tapi tenang, aku akan memenuhi janjiku dulu. Bagiku, kamu tetap sahabat terbaik yang pernah aku miliki dulu.” Suaranya tenang.
Jika selama ini yang ia tahu ada mantan suami, ada mantan pacar, mantan majikan dan berbagai mantan lainnya. Baru kali ini ia harus menerima kenyataan ada mantan sahabat, dan terjadi pada dirinya.
Rindai mendekati jendela kamarnya, melihat jalanan. “Kamu akan memahaminya nanti, bertahanlah di organisasi ini” Potongan kalimat Karim kembali menghantui. Apa yang diinginkan Karim, meminta Rindai tetap bertahan di organisasi ini. Apa mungkin di organisasi ini dia akan mampu memahami keinginan Karim. Sesuatu yang rasanya terlalu sulit untuk dipahami.
“Persahabatan kalian memang jelas berbeda, Rindai.”Suara Isna masuk memecah lamunan Rindai.
“Perbedaan apa yang kamu tahu?” ujarnya dingin.
“Coba kamu lihat, Karim yang sekarang tentu bukan Karim kamu yang dulu, dia telah menjelma menjadi seorang ikhwan.”
Rindai mencoba mencernanya dengan baik. Ikhwan, dia pernah mendengar kata itu dari bibir Isna juga. Isna menceritakan banyak hal tentang ikhwan dan akhwat. Jika diperhatikan, Karim sekarang memang seperti ciri-ciri ikhwan yang pernah diutarakan Isna. Dia lebih religius, ibadahnya mantap, pola pikirnya lebih maju dan dewasa, dia pun tidak pernah terlihat terlalu dekat dengan wanita. Atau… itu alasannya?
“Laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya itu, tidak bisa bersahabat layaknya sesama laki-laki atau sesama perempuan. Persaudaraan mereka terbatas sebatas saudara seagama, tak boleh lebih. Kecuali, jika persahabatan itu dibingkai dalam bahtera rumah tangga.” Lanjut Isna tenang.
“Kami tidak pernah melakukan hal-hal yang dilarang di dalam Islam.” Bantah Rindai tegas.
Isna menarik kursi, duduk di sebelah Rindai. “Sekarang jawab dengan jujur ya, jika kamu sedang ada masalah, kamu tentu mengadu dengannya, bukan?”
Rindai menjawab dengan anggukan.
“Lalu, kamu akan menangis di pundaknya?” lagi-lagi Rindai hanya menjawabnya dengan anggukan. “Nah, itu dia Rindai. Berduaan dengan yang bukan muhrimnya saja sudah sebuah dosa, apa lagi kamu menangis di pundaknya.”
***
 “Tanggal 31 Januari kan, wisudanya?” tanya Isna
“Iya nih, akhirnya selesai juga ya. Hehe,”
Tidak terasa, waktu bergulir begitu cepat. Dua tahun telah berlalu setelah perdebatanku dengan Isna malam itu. Aku sama sekali tidak begitu memikirkan persahabatanku dengan Karim lagi. Setelah sekian lama berusaha memahami tiap kalimatnya, kini aku paham bahkan sangat memahaminya. Aku dan dia memang benar-benar berbeda.
“Oh ya, ini dari Mba’ Yun tadi, dia lupa memberikannya saat kholaqoh tadi. Pesan Mba’ Yun tadi, baca saja dulu, setelah itu, baru tanya sama beliau.” Ujar Isna memberikan sebuah amplop berwarna merah muda. “Aku mau Ashar dulu, tadi belum shalat.”
Ada tanya yang terlampau besar dibenakknya. Mba’ Yun, murabbinya menitipkan sepucuk surat. Apa mungkin? Rindai tak ingin menunggu lebih lama lagi, dia bergegas membuka isi suratnya.
Aku tidak pernah membencimu, bahkan berniat untuk menjauhimu. Jarak yang ada di antara kita selama ini, hanya caraku untuk menyiapkan diri menjadi pantas untuk meminangmu. Aku ingin kamu menjadi sahabatku, bukan sekadar di dunia, tapi juga di akhirat kelak. Berjalanlah bersamaku, menyelesaikan masalah ummat yang begitu pelik.
-Abdul Karim Muzakir-

TAMAT
Palembang, 24 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kata-kata yang baik, mencerminkan pribadi seseorang.