ARTI
SAHABAT
"Oleh : Khadijah Anwar"
Aku baca sekali lagi koran yang ada di tanganku, “Di balik
Manisnya Mulut Wihardi”, judul sebuah berita di koran pagi ini, Aku benar-benar tak percaya bahwa Wihardi yang
disebutkan dalam koran
tersebut adalah papa. Papa diduga terjerat kasus korupsi. “ Bukan, ini pasti bukan Papa!” teriak batinku tak percaya.
Aku berusaha menghilangkan semua rasa tidak percaya
akan berita yang aku baca tadi, tapi tetap saja bayang-bayang berita itu
berputar di otakku. Aku mulai membayangkan jika Wihardi di koran itu adalah papa, pikiranku kian
berkecamuk.
Aku ingin segera pulang dan menanyakan semua
kebenarannya pada Mama. Tapi sepertinya aku harus menahannya,
karena aku melihat ada
pengacara keluargaku di ruang tamu, tengah berbincang dengan Mama. Entah apa yang mereka bicarakan. Karena takut mengganggu, aku
terpaksa mengendap masuk lewat pintu belakang. Di ruang tengah, tak sengaja
terdengar perbincangan mereka.
“Dua minggu lagi sidang terakhir Pak Wihardi.” Ujar pengacara itu.
“Sidang? Papa disidang?” tanyaku dalam hati. Pernyataan pengacara
itu membuat hatiku makin bertanya-tanya. Tak lama kemudian, kulihat Mama mengantarkan pengacara itu ke
depan pintu.
“Ma, kenapa Papa disidang? Papa bukan koruptor, kan? Berita di koran
itu bohong kan, Ma?” tanyaku akhirnya setelah pengacara itu pergi. Mama hanya diam, tidak ada tanda-tanda akan menjawab
pertanyaanku.
“Ma, Nadia sudah besar, Nadia berhak tahu semuanya.”
Desakku
“Sekarang kamu ganti baju, setelah itu kamu ikut Mama. Nanti kamu akan mengerti.” Suara Mama akhirnya.
***
Taksi melaju dengan cepat. Sementara aku dan Mama masih dalam diam. Tak ada
suara, selain suara deru
mesin mobil dan sesekali terdengar suara klakson. Ingin kutanyakan semuanya
pada Mama, tapi aku membatalkan niat
itu. Aku tahu, walaupun aku
menanyakannya, Mama tak akan
menjawab. Tatapan mata Mama
kosong, tampak jelas ada beban di pikirannya.
Aku tersentak dari lamunanku saat mengetahui bahwa
taksi ini berhenti tepat di depan sebuah gedung dengan papan nama “Komisi
Pemberantasan Korupsi”.
“Ma, kenapa
kita ke sini? Apa benar Papa
ditahan?” tanyaku setelah Mama membayar ongkos taksi dan mengajakku masuk. Mama tak menjawab.
Mama justru menghampiri seorang penjaga di sebuah meja. Mereka berbincang sebentar,
lalu Mama mengajakku duduk di
sebuah kursi tunggu. Tak lama kemudian, petugas yang berbincang dengan Mama ke luar dengan seorang tahanan
paruh baya.
“Papa!” panggilku
tak percaya. Tahanan itu benar-benar Papa, aku tak mungkin salah, kupeluk Papa dengan erat. “Ada
apa ini, Pa? Kenapa Papa di sini?” tanyaku di sela tangisku. Pelukanku makin
erat, Papa membelai rambutku.
“Papa difitnah, sayang. Semua rekayasa politik, Papa
dituduh korupsi proyek pembangunan jalan di Tanjung Api-Api senilai 11 milyar.” Jelas Papa yang memintaku untuk duduk.
“Papa melakukannya?”
“Tidak sayang, Papa tidak pernah korupsi uang apapun, kamu harus percaya Papa” ujar Papa.
“Pa, tadi Pak
Roy bilang 2 minggu lagi
sidang terakhir Papa.” Ujar Mama menahan rasa sedih yang
terlihat jelas di wajahnya. Papa
mengangguk mengiyakan.
“Nad, Papa
titip Mama dan Nindy sama
kamu selama Papa di sini”
Aku hanya mengangguk mengiyakan.
“Kamu harus percaya, kebenaran akan terbukti. Ini hanya sementara “ Ujar Papa meyakinkanku, tetap dengan senyumnya yang tak pernah hilang
dalam keadaan apa pun. Ini yang aku suka dari Papa. Aku berusaha untuk tersenyum, meski sulit. Aku berharap ini
mimpi dan segera terjaga dari tidurku. Bukan, ini bukan mimpi ini sebuah
kenyataan yang harus aku hadapi.
“Pa, Nadia percaya Papa, Nadia janji akan menjaga Mama dan Nindy selama Papa
di sini.” Janjiku dalam hati.
***
Berita tentang Papa yang ditahan karena kasus korupsi menjadi berita utama di
setiap surat kabar. Sekarang,
hampir semua orang kenal Papa
sebagai seorang koruptor dan aku anak seorang koruptor.
Biasanya aku selalu mencurahkan semua yang aku rasakan
pada Hilda dan dia selalu ada. Tapi, sejak berita Papa tersebar. Dia mulai menjauh dariku. Bahkan pacarku pun mulai berubah, setiap kali aku telepon dia selalu
beralasan sedang sibuk dengan tugas kuliah.
Tanpa aku sadari, aku menangis. Aku selalu berusaha tegar, tapi sebenarnya aku sangatlah rapuh.
“Kamu kenapa, Nin?” Tanyaku khawatir melihat Nindy, adik kecilku. Yang tiba-tiba masuk ke kamarku sambil menangis. Dia menangis di pelukanku.
“Teman-teman Nindy bilang kalau Papa Nindy koruptor
dan sekarang Papa di penjara” Ujarnya di sela tangisnya, hatiku
kian sakit mendengar tangis Nindy. “Kak, Papa kita nggak di penjara, kan? Papa bukan koruptor kan, kak?” Desaknya.
“Sayang,
Papa kan lagi kerja di Bandung. Nanti pasti pulang dan bawa
boneka teddy pesanan kamu.” Suaraku akhirnya. Aku mengapus air matanya yang
mulai mengering. Nindy masih
terlalu dini untuk mengetahui semuanya. Dia mulai diam.
Aku kembali tak percaya mendengar Nindy mengatakan
bahwa dia melihat Ryan dan Hilda sedang berjalan berdua. Bagaimana mungkin?
“Tuhan, berikan aku kekuatan untuk melewati semuanya.
Aku percaya ada rahasia indah di balik
cobaan ini.” Do’aku di dalam hati.
***
Satu bulan terakhir ini adalah hari-hari terberat
dalam hidupku, karena aku harus
menjalani hari-hariku dengan tatapan sinis dan
cemooh orang-orang di sekitarku. Bahkan tanpa seorang pacar atau
sahabat sebagai tempat berbagi. Tapi
aku tak ingin terpuruk dalam keadaan ini. Hari ini adalah sidang terakhir Papa. Seharusnya satu minggu yang lalu, tapi karena ada kendala, sidang
ditunda hingga hari ini. Bertepatan
dengan hari ulang tahunku yang ke 17. Di usiaku yang ke 17 ini aku akan
berusaha untuk lebih dewasa.
“Ayo sayang.” Ajak Mama membuyarkan lamunanku. Aku mengikuti langkah Mama.
“Mereka?” teriakkku tak percaya melihat ke luar kaca jendela. Mereka yang tengah
berboncengan dengan mesra. “Stop Pak.”
Ujarku pada sopir taksi. Beranjak ingin ke luar dan mengakhiri semua
penghianatan yang mereka lakukan.
“Jangan sayang, biarkan saja mereka. Sidang Papa lebih penting dari apa pun.”
Tahan Mama. “Jalan Pak.” Ujar
Mama.
Jalanan begitu macet. Aku sudah tak sabar untuk segera
menemui papa.
Sesampainya di pengadilan Mama harus menemui pengacara kami terlebih dahulu.
Sesampainya di pengadilan Mama harus menemui pengacara kami terlebih dahulu.
“Ma, Nadya langsung ke ruang sidang aja yah.” Izinku.
Aku langkahkan kakiku menuju ruang sidang. Pengacara
tadi mengatakan sidang akan dimulai satu
jam lagi. Pikiranku masih melayang melihat kejadian tadi. Aku masih tak habis
pikir orang yang sangat aku percaya dapat menghianatiku. “Apa ini namanya
sahabat?” tanya batinku.
Ruang sidang masih tertutup dengan rapat. Aku buka
pintu ruang sidang perlahan.
“Happy birthday to you. Happy birthday to you.”
“Tar…tar…tar…”
Sebuah kejutan pesta ulang tahun. Aku terpana
menyaksikan yang aku lihat. “Hilda? Ryan?” tanyaku melihat mereka bersama teman-teman satu kelasku.
“Selamat ulang tahun ya.” Ujar Hilda memelukku.
“Tiup lilinnya. Tiup lilinnya sekarang juga, sekarang
juga.” Teriak yang lain.
“Make a wish dulu sayang.” Ujar Ryan.
Sebuah kue ulang tahun berbentuk piano yang sangat
indah dipersembahkan untukku. “Tuhan, aku hanya meminta, berikan yang terbaik
untuk aku dan orang-orang di sekitarku.”
Pintaku dalam hati. Kutiup lilin berlambang 17 itu dengan segudang pertanyaan
dikepalaku.
“Potong kuenya dong.” Teriak suara yang sangat aku
kenal. Anton. Teman sekelasku.
Aku memotong kuenya. Suapan pertama kuberikan pada Mama yang sudah datang
menghampiriku dengan perasaan yang tak kalah terkejutnya dengan aku. Suapan kue
kedua kuberikan pada Ryan yang entah sebagai apa statusnya di hatiku detik ini. Lalu, Hilda. Mereka
bergantian memberikan ucapan selamat kepadaku.
“Aku harus bicara pada kalian.” Ujarku menarik tangan
Hilda dan ryan ke luar dari ruang
sidang.
“Apa maksud semua ini? Kalian sudah berhianat di belakangku. Apa dengan kejutan ini kalian
pikir kalian bisa menutupi semuanya?” ujarku melampiaskan semuanya di luar
ruang sidang.
“Nad, kami sering jalan bareng karena kami menyiapkan
semuanya buat kamu. Kami tidak pernah menghianati kamu. Kami sayang sama kamu.”
“Iya Nad, Hilda tidak bohong. Tidak ada hubungan spesial diantara kami selain
sahabat.”
“Kemana saja kalian selama satu bulan ini? Saat aku
butuh. Saat aku terpuruk. Kalian malu kenal dengan seorang anak koruptor
sepertiku? ”
“Nad, aku tidak pernah menjauh dari kamu. Aku hanya
lagi sibuk dengan kegiatan lomba di sekolah
dan kamu sendiri tak pernah ada setiap kali aku temui.” Ujar Hilda.
“Bulsyit…” Ujarku meninggalkan mereka.
“Nad…” Panggil Hilda. Dia memelukku. “Aku sangat
menyayangi kamu, aku tak mungkin menghianati persahabatan kita.” Ujarnya. Aku
hanya diam. “Aku dan Ryan baru mengetahui berita Papa kamu di penjara dua hari yang lalu dari teman-teman sekelas kamu. Sumpah!”
Ujarnya lagi.
“Kalau kamu pikir kami menjauh dari kamu, kamu salah.
Tanpa kamu sadari justru selama ini kamulah yang menjauhi kami secara perlahan.
Kamu selalu pulang lebih awal. Kamu juga tidak pernah datang rapat organisasi.
Sadar itu, Nad.” Ujar Anton yang juga teman baikku di kelas.
Anton ada benarnya. Selama ini akulah yang menutup
diri dari mereka. Aku malu dengan apa yang terjadi dan aku pikir bahwa mereka akan membenciku setelah
mengetahui semuanya. Jadi, daripada mereka menjauhiku, aku mulai melangkah
mundur menjauhi mereka secara perlahan. Ternyata apa yang aku pikirkan salah.
Mereka tak pernah membenciku. Mereka semua peduli padaku.
“Maaf Hil.” Ujarku. Aku melepaskan pelukan Hilda. Aku
menatap mereka semua.
Aku meneteskan air mataku. Kali ini air mata bahagia.
Aku bahagia masih ada orang yang sayang sama aku dalam keadaan seperti ini.
“Terima kasih Tuhan, Kau berikan aku orang-orang yang sangat menyayangiku.”
Batinku.
“Masuk yuk. Sidang sudah mau mulai.” Ajak Hilda.
Aku, Ryan, Hilda dan Anton masuk keruang sidang. Benar
saja, sidang akan segera dimulai. Pak hakim dan jaksa sudah ada di tempatnya. Aku lihat Papa melihat ke arahku, dia tersenyum dengan senyum khasnya. Dia seakan memberikan
isyarat bahwa aku harus bisa tersenyum.
Sidang berjalan cukup lama, dengan mendengarkan
beberapa saksi. Aku optimis bahwa Papa
akan bebas dari tuduhan yang tidak pernah ia lakukan itu. Jantungku berdegup
lebih kencang saat Pak hakim akan memutuskan perkara ini.
“Kami ada buat kamu, Nad.” Support Hilda merangkulku.
“Papa pasti bebas.” Ujar Ryan menggenggam erat
tanganku.
“Setelah mendengarkan keterangan beberapa saksi, maka
kami memutuskan bahwa Wihardi Pratama terdakwa kasus korupsi, dinyatakan
bersalah dan dihukum selama tiga tahun tujuh bulan penjara dengan denda uang
sebesar tujuh ratus delapan puluh juta rupiah. Sidang ditutup. Tok, tok, tok.”
Suara Hakim memberikan keputusan.
Keputusan yang sama sekali tak kuinginkan. Kuteteskan
air mata. Kulihat Mama pun
meneteskan air mata. Aku memeluk Mama,
berusaha menegarkannya. Walaupun sebenarnya aku sendiri sangat sedih. Aku dan Mama berusaha bangkit menghampiri Papa yang masih duduk di kursi terdakwa dan memeluk Papa dengan erat. Banyak support yang
datang.
“Kamu tidak sendiri. Kami akan ada di dekat kamu melewati semuanya.” Ujar Hilda
menghampiri aku dan keluargaku.
“Kamu juga punya aku, Nad.” Ujar Ryan.
TAMAT
fokus masalah = perfect
BalasHapusmakasih kak,, jgn lupa koment yg lainnya :)
Hapus