AKU BUKAN KARANG
Oleh : Khadijah Anwar
Aku baca sekali lagi koran yang ada di tanganku, “Di balik Manisnya Mulut Wihardi”, judul sebuah berita
di koran pagi ini, Aku benar-benar tak percaya bahwa Wihardi
yang disebutkan dalam koran tersebut
adalah papa. Papa diduga terjerat kasus korupsi. “ Bukan, ini pasti bukan Papa!” teriak batinku
tak percaya.
“Ternyata kamu di sini, Nad?” suara Hilda membuyarkan semua pikiran ku,
“Kenapa, Hil?” tanyaku sambil menyembunyikan koran yang aku baca.
“Boring sendirian di kelas”
“Oh...” Jawabku singkat.
Aku berusaha menghilangkan semua rasa
tidak percaya akan berita yang aku baca tadi, tapi tetap saja bayang-bayang
berita itu berputar di otakku. Aku mulai membayangkan jika Wihardi di koran itu adalah papa, pikiranku kian berkecamuk.
“Sakit gigi ya, Nad?” tanya Hilda
heran melihatku diam. Aku hanya menggelengkan kepala,
“Kamu berantem sama Ryan?” tanyanya
lagi.
“Nggak.”
“Kamu ada
masalah?”
“Nggak,
Hil. Aku mau pulang, bisa tolong izinin sama guru piket?”
“Iya. Tapi ingat, jika kamu butuh teman
buat cerita, aku ada untuk kamu.” Ujarnya.
***
Aku ingin segera pulang dan menanyakan
semua kebenarannya pada Mama. Tapi sepertinya aku harus menahannya, karena aku melihat ada pengacara keluargaku di ruang tamu, tengah
berbincang dengan Mama. Entah apa yang mereka bicarakan. Karena takut
mengganggu, aku terpaksa mengendap masuk lewat pintu belakang. Di ruang tengah,
tak sengaja terdengar perbincangan mereka.
“Dua minggu lagi sidang terakhir Pak Wihardi.” Ujar pengacara itu.
“Sidang? Papa disidang?” tanyaku dalam hati. Pernyataan pengacara itu membuat
hatiku makin bertanya-tanya. Tak lama kemudian, kulihat Mama mengantarkan pengacara itu ke depan pintu.
“Ma, kenapa Papa disidang? Papa bukan koruptor, kan? Berita di koran itu bohong kan, Ma?” tanyaku akhirnya
setelah pengacara itu pergi. Mama hanya diam, tidak
ada tanda-tanda akan menjawab pertanyaanku.
“Ma, Nadia sudah besar, Nadia berhak
tahu semuanya.” Desakku
“Sekarang kamu ganti baju, setelah itu
kamu ikut Mama. Nanti kamu akan mengerti.” Suara Mama akhirnya.
***
Taksi melaju dengan cepat. Sementara
aku dan Mama masih dalam diam. Tak ada suara, selain suara deru mesin mobil dan sesekali terdengar suara klakson. Ingin
kutanyakan semuanya pada Mama, tapi aku membatalkan
niat itu. Aku tahu, walaupun
aku menanyakannya, Mama tak akan menjawab. Tatapan
mata Mama kosong, tampak jelas ada beban di pikirannya.
Aku tersentak dari lamunanku saat
mengetahui bahwa taksi ini berhenti tepat di depan sebuah gedung dengan papan
nama “ Kepolisian Negara Republik Indonesia”.
“Ini
kantor polisi sekaligus rumah tahanan.” Ujarku membatin.
Setelah membayar ongkos taksi Mama mengajakku masuk.
Setelah membayar ongkos taksi Mama mengajakku masuk.
“Ma, kenapa kita ke sini? Apa benar Papa ditahan?” tanyaku setelah Mama membayar
ongkos taksi dan mengajakku masuk. Mama tak menjawab.
Mama justru menghampiri seorang polisi
di sebuah meja. Mereka berbincang sebentar, lalu Mama mengajaku duduk di sebuah kursi tunggu. Tak
lama kemudian, polisi yang berbincang dengan Mama keluar dengan seorang tahanan paruh baya.
“Papa!” panggilku tak percaya. Tahanan itu benar-benar Papa, aku tak mungkin salah, kupeluk Papa dengan erat. “Ada apa ini,
Pa? Kenapa Papa di
sini?” tanyaku di sela tangisku. Aku menangis. Sedih. Pelukanku makin erat, Papa membelai rambutku
penuh cinta.
“Papa difitnah, sayang. Semua rekayasa
politik, papa dituduh korupsi proyek pembangunan jalan di Tanjung Api-Api
senilai 11 milyar.” Jelas Papa yang memintaku untuk duduk.
“Papa melakukannya?”
“Tidak sayang, Papa tidak pernah korupsi uang apapun, kamu harus
percaya Papa” ujar Papa.
“Pa, tadi Pak Roy bilang 2
minggu lagi sidang terakhir Papa.” Ujar Mama menahan rasa sedih yang terlihat jelas di wajahnya. Papa mengangguk mengiyakan.
“Nad, Papa titip Mama dan
Nindy sama kamu selama Papa disini”
Aku hanya mengangguk mengiyakan.
“Kamu harus percaya, kebenaran akan terbukti. Ini hanya sementara “ Ujar Papa meyakinkanku, tetap dengan senyumnya yang tak
pernah hilang dalam keadaan apa pun. Ini yang aku suka dari Papa. Aku berusaha untuk tersenyum, meski sulit. Aku
berharap ini mimpi dan segera terjaga dari tidurku. Bukan, ini bukan mimpi ini
sebuah kenyataan yang harus aku hadapi.
“Pa, Nadia percaya Papa, Nadia janji akan menjaga Mama dan Nindy selama Papa di sini.” Janjiku
dalam hati.
***
Berita tentang Papa yang di tahan karena kasus korupsi menjadi
berita utama di setiap surat kabar. Sekarang, hampir semua orang kenal Papa sebagai seorang koruptor dan aku anak seorang
koruptor.
Biasanya aku selalu mencurahkan semua
yang aku rasakan pada Hilda dan dia selalu ada. Tapi, sejak berita Papa tersebar. Dia
mulai menjauh dariku. Bahkan pacarku pun mulai berubah, setiap kali aku telepon dia selalu beralasan sedang
sibuk dengan tugas kuliah.
Tanpa aku sadari, aku menangis. Aku selalu berusaha tegar, tapi sebenarnya aku sangatlah
rapuh.
“Kamu kenapa, Nin?” Tanyaku khawatir melihat Nindy, adik kecilku. Yang tiba-tiba masuk ke kamarku sambil
menangis. Dia menangis di pelukanku.
“Teman-teman Nindy bilang kalau Papa
Nindy koruptor dan sekarang Papa di penjara” Ujarnya di sela tangisnya, hatiku kian sakit mendengar tangis Nindy. “Kak, Papa kita nggak di penjara, kan? Papa bukan koruptor kan, kak?” Desaknya.
“Sayang, Papa kan lagi kerja di Bandung.
Nanti pasti pulang dan bawa boneka teddy pesanan kamu.” Suaraku akhirnya. Aku
mengapus air matanya yang mulai mengering. Nindy
masih terlalu dini untuk mengetahui semuanya. Dia mulai diam.
“Kak, tadi pulang sekolah Nindy lihat Kak Ryan mencium
pipi Kak Hilda di depan rumah Kak Hilda.” Ceritanya. Aku tersentak. “ Ryan mencium
pipi Hilda?” Tanya hatiku.
“Wah, adik Kakak sudah pintar gosip ya?” Candaku.
“Ini bukan gosip Kak, Nindy lihat sendiri.”
“Sudah ah, sudah malam kamu tidur sana , besok kan
sekolah.” Perintahku akhirnya.
”Nindy tak mungkin berbohong. Apa benar Ryan dan Hilda
selingkuh di belakangku?” Pikirku. “Mungkin memang Hilda yang
pantas untuk Ryan, bukan aku” Desahku akhirnya.
“Tuhan, berikan aku kekuatan untuk
melewati semuanya. Aku percaya ada rahasia indah di balik cobaan ini.” Do’aku dalam hati.
***
Satu bulan terakhir ini adalah
hari-hari terberat dalam hidup ku, karena aku
harus menjalani hari-hariku dengan tatapan sinis dan
cemooh orang-orang di sekitarku. Bahkan tanpa seorang pacar atau sahabat sebagai
tempat berbagi. Tapi aku tak ingin terpuruk dalam keadaan ini. Hari
ini adalah sidang terakhir Papa. Seharusnya satu minggu yang lalu, tapi karena ada kendala, sidang ditunda hingga hari ini. Bertepatan dengan hari ulang tahunku yang ke 17. Di
usiaku yang ke 17 ini aku akan berusaha untuk lebih dewasa.
“Ayo sayang.” Ajak Mama membuyarkan lamunanku. Aku mengikuti langkah Mama.
“Mereka?” Teriakkku tak percaya melihat
ke luar kaca jendela. Aku tak mungkin salah lihat.
Mereka, Hilda dan Ryan yang tengah berboncengan dengan mesra. “Stop Pak.” Ujarku pada sopir taksi. Beranjak ingin keluar
dan mengakhiri semua penghianatan yang mereka lakukan.
“Jangan sayang, biarkan saja mereka.
Sidang Papa lebih penting dari apa pun.” Tahan Mama. “Jalan Pak.” Ujar Mama. Aku mengurungkan niatku untuk menghampiri mereka.
Mungkin apa yang dikatakan Mama ada
benarnya.
Jalanan begitu macet. Aku sudah tak
sabar untuk segera menemui papa.
Sesampainya di pengadilan Mama harus menemui pengacara kami terlebih dahulu.
Sesampainya di pengadilan Mama harus menemui pengacara kami terlebih dahulu.
“Ma, Nadya langsung ke ruang sidang aja yah.” Izinku.
Aku langkahkan kakiku menuju ruang sidang.
Pengacara tadi bilang sidang akan dimulai satu jam lagi. Pikiranku masih
melayang melihat kejadian tadi. Aku masih tak habis pikir orang yang sangat aku
percaya dapat menghianatiku. “Apa ini alasan Ryan menghindar dariku selama
ini?” tanya batinku.
“Tidak, aku tidak boleh memikirkan
mereka, ada yang lebih penting dari mereka.” Berontak batinku. Aku menarik
napas panjang menenangkan pikiranku.
Ruang sidang masih tertutup dengan
rapat. Aku buka pintu ruang sidang perlahan.
“Happy birthday to you. Happy birthday
to you.”
“Tar…tar…tar…”
Sebuah kejutan pesta ulang tahun. Aku
terpana menyaksikan yang aku lihat. “Hilda? Ryan?” tanyaku melihat mereka bersama teman-teman satu
kelasku.
“Selamat ulang tahun ya.” Ujar Hilda
memelukku.
“Tiup lilinnya. Tiup lilinnya sekarang
juga, sekarang juga.” Teriak yang lain.
“Make a wish dulu sayang.” Ujar Ryan.
Sebuah kue ulang tahun berbentuk piano
yang sangat indah dipersembahkan untukku. “Tuhan, aku hanya meminta, berikan
yang terbaik untuk aku dan orang-orang di sekitarku.”
Pintaku dalam hati. Kutiup lilin berlambang 17 itu dengan segudang pertanyaan
dikepalaku.
“Potong kuenya dong.” Teriak suara yang
sangat aku kenal. Anton. Teman sekelasku.
Aku memotong kuenya. Suapan pertama
kuberikan pada Mama yang sudah datang menghampiriku
dengan perasaan yang tak kalah terkejutnya dengan aku. Suapan kue kedua
kuberikan pada Ryan yang entah sebagai apa statusnya di hatiku detik ini. Lalu, Hilda. Mereka bergantian
memberikan ucapan selamat kepadaku.
“Aku harus bicara pada kalian.” Ujarku
menarik tangan Hilda dan ryan ke luar dari ruang
sidang.
“Apa maksud semua ini? Kalian sudah
berhianat di belakangku. Apa dengan kejutan ini kalian pikir kalian
bisa menutupi semuanya?” ujarku
melampiaskan semuanya di luar ruang sidang.
“Nad, kami sering jalan bareng karena
kami menyiapkan semuanya buat kamu. Kami tidak pernah menghianati kamu. Kami
sayang sama kamu.”
“Iya Nad, Hilda tidak bohong. Tidak ada hubungan spesial diantara kami selain sahabat.”
“Kemana saja kalian selama satu bulan
ini? Saat aku butuh. Saat aku terpuruk. Kalian malu kenal dengan seorang anak
koruptor sepertiku? ”
“Nad, aku tidak pernah menjauh dari
kamu. Aku hanya lagi sibuk dengan kegiatan lomba di sekolah dan kamu sendiri tak pernah ada setiap kali
aku temui.” Ujar Hilda.
“Bulsyit…” Ujarku meninggalkan mereka.
“Nad…” Panggil Ryan. Dia memelukku.
“Aku sangat menyayangi kamu, aku tak mungkin selingkuh, apalagi sama Hilda. Percaya aku.” Ujarnya. Aku
hanya diam. “Aku dan Hilda baru mengetahui berita Papa kamu di penjara dua
hari yang lalu dari teman-teman sekelas kamu. Sumpah!” Ujarnya lagi.
“Iya Nad, kami di sini karena kami mau kamu tahu bahwa kami ada untuk
kamu dalam keadaan apa pun. Kami semua sayang sama kamu.” Sambung Hilda.
“Kalau kamu pikir kami menjauh dari
kamu, kamu salah. Tanpa kamu sadari justru selama ini kamulah yang menjauhi
kami secara perlahan. Kamu selalu pulang lebih awal. Kamu juga tidak pernah
datang rapat organisasi. Sadar itu, Nad.” Ujar Anton yang juga teman baikku di kelas.
Aku diam. Anton ada benarnya. Selama
ini akulah yang menutup diri dari mereka. Aku malu dengan apa yang terjadi dan
aku pikir bahwa mereka akan membenciku setelah mengetahui
semuanya. Jadi, daripada mereka menjauhiku, aku mulai melangkah mundur menjauhi
mereka secara perlahan. Ternyata apa yang aku pikirkan salah. Mereka tak pernah
membenciku. Mereka semua peduli padaku.
“Maaf Hil.” Ujarku. Aku melepaskan pelukan
Ryan. Aku memeluk Hilda.
“Tidak apa-apa, Nad. Kami mengerti
posisi kamu.”
Aku meneteskan air mataku. Kali ini air
mata bahagia. Aku bahagia masih ada orang yang sayang sama aku dalam keadaan
seperti ini. “Terima kasih Tuhan, Kau berikan aku orang-orang yang sangat
menyayangiku.” Batinku.
“Masuk yuk. Sidang sudah mau mulai.”
Ajak Hilda.
Aku, Ryan, Hilda dan Anton masuk
keruang sidang. Benar saja, sidang akan segera dimulai. Pak hakim dan jaksa
sudah ada di tempatnya. Aku lihat Papa melihat ke arahku, dia
tersenyum dengan senyum khasnya. Dia seakan memberikan isyarat bahwa aku harus
bisa tersenyum.
Sidang berjalan cukup lama, dengan
mendengarkan beberapa saksi. Aku optimis bahwa Papa akan bebas dari tuduhan yang tidak pernah ia
lakukan itu. Jantungku berdegup lebih kencang saat Pak hakim akan memutuskan
perkara ini.
“Kami ada buat kamu, Nad.” Support Hilda merangkulku.
“Papa pasti bebas.” Ujar Ryan
menggenggam erat tanganku.
“Setelah mendengarkan keterangan
beberapa saksi, maka kami memutuskan bahwa Wihardi Pratama terdakwa kasus
korupsi, dinyatakan bersalah dan dihukum selama tiga tahun tujuh bulan penjara
dengan denda uang sebesar tujuh ratus delapan puluh juta rupiah. Sidang
ditutup. Tok, tok, tok.” Suara Hakim memberikan keputusan.
Keputusan yang sama sekali tak kuinginkan. Kuteteskan air mata. Kulihat Mama pun meneteskan air mata. Aku memeluk Mama, berusaha menegarkannya. Walaupun sebenarnya aku sendiri sangat sedih. Aku dan Mama berusaha bangkit menghampiri Papa yang masih duduk di kursi terdakwa dan memeluk Papa dengan erat. Banyak support yang datang.
Keputusan yang sama sekali tak kuinginkan. Kuteteskan air mata. Kulihat Mama pun meneteskan air mata. Aku memeluk Mama, berusaha menegarkannya. Walaupun sebenarnya aku sendiri sangat sedih. Aku dan Mama berusaha bangkit menghampiri Papa yang masih duduk di kursi terdakwa dan memeluk Papa dengan erat. Banyak support yang datang.
“Nad, kamu tidak sendiri. Kami akan ada
di dekat kamu melewati semuanya.” Ujar Nita menghampiri
aku dan keluargaku.
“Kamu juga punya aku, Nad.” Ujar Ryan.
“Tuhan, jika ini adalah awal dari ujian
yang Kau berikan, maka kuatkanlah aku. Aku akan tetap melangkah maju melewati
semua ini dengan dukungan orang-orang di sekitarku. Aku
tak boleh terpuruk lagi.” Batinku. Aku menghapus air mataku. Kulihatkan senyum
termanisku pada Papa. “ Pa, aku bukan batu karang,
dan mungkin tak akan setegar batu karang. Tapi aku janji ini air mata
terakhirku, Pa. ”
Janjiku dalam hati.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
kata-kata yang baik, mencerminkan pribadi seseorang.