Kelemahan Penulis Pemula
Kelemahan pertama: STRUKTUR CERITA
Seperti kita ketahui dalam struktur cerita biasanya ada pembukaan (pengenalan),
konflik, klimaks, anti klimaks (leraian) dan pengakhiran. Nah,
cerpenis-cerpenis pemula biasanya kurang memperhatikan proporsionalitas
struktur cerita. Banyak di antara mereka yang berpanjang-panjang ria dalam
menulis pembukaan cerpennya.
Mereka menceritakan semua, seolah takut para pembaca tak mengerti apa yang akan
atau sedang mereka ceritakan. Akibatnya sering satu sampai dua halaman pertama
karya mereka masih belum jelas akan menceritakan tentang apa. Hanya pengenalan
dan pemaparan yang bertele-tele dan membosankan.
Konflik yang seharusnya dibahas dengan lebih jelas, luas dan lengkap, sering
malah disinggung sambil lalu saja. Pengakhiran konflik pun dibuat sekedarnya.
Tahu-tahu sudah penyelesaian. Padahal inti dari cerpen adalah konflik itu
sendiri. Jadi jangan sampai pembukaan cerpen menyamai apalagi sampai menelan
konflik tersebut.
Para cerpenis pemula juga sering membuat panjang akhir cerpennya. Padahal
banyak pengarang yang hanya membutuhkan satu dua kalimat saja untuk
menyelesaikan cerpennya.
Pokoknya, ingat kata Jakob Sumardjo: dalam cerpen yang baik, kecenderungan
untuk menjelaskan secara rinci dan
terang-terangan ini dihindari. Cukup yang pokok-pokok saja dan pertautan
selanjutnya kepada imajinasi dan
kepekaan pembaca.
Kelemahan ke dua: FOKUS CERITA
Yang dimaksud dengan fokus di sini adalah penajaman persoalan yang
disuguhkan dalam cerpen. Para cerpenis
pemula sering 'melantur ke mana-mana.' Mereka menyampaikan hal-hal yang tak ada
relevansinya dalam cerpen tersebut. Menciptakan digresi-digresi (lanturan) yang
biasanya hanya boleh ada dalam sebuah novel. Ibaratnya rumah kita ada di
Bandung, tujuan kita mau ke Jakarta, ini malah lewat Bali.
Kelemahan ke tiga: BAHASA
Bahasa menjadi kekuatan yang menentukan dalam sebuah cerpen namun tampaknya hal
itu belum disadari sepenuhnya oleh para pemula. Contohnya, mereka masih memakai
kata kata yang cenderung klise, seperti rambutnya bagaikan mayang terurai,
giginya seperti biji ketimun, pipinya merah delima, dan lain-lain yang kuno dan
berbau pujangga baru. Banyak menumpang dan mengulang kata-kata yang pernah
dipakai pengarang lain.
Bahasa-bahasa mereka juga masih sekedar bahasa informasi, layaknya bahasa yang
kita gunakan sehari-hari dalam proses komunikasi. Nyaris tanpa makna, tidak
meninggalkan efek apalagi menimbulkan imajinasi pembaca.
Cerpen-cerpen bagus era ini adalah cerpen-cerpen yang menggunakan bahasa yang
padat, jernih dan spontan.
Lihatlah cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma, Gus Tf Sakai dan Agus Noor. Mereka
sangat selektif dan bergairah menciptakan kalimat-kalimat baru untuk
mempercantik cerpennya. Kata-kata mereka lugas, kuat dan menghidupkan imajinasi
kita.
Pengarang pemula juga sering bingung menempatkan bahasa pop, slank atau dialek
dalam cerpennya. Kalimat-kalimat tersebut tak jarang diletakkan dalam paparan
narasi. Padahal kalimat-kalimat narasi seharusnya menggunakan bahasa yang
standar, baku dan berlaku umum. Boleh saja kita menggunakan bahasa slank, pop
atau dialek, tetapi terbatas pada dialog antar tokoh, guna memperjelas warna
lokal dan karakter tokoh.
Kelemahan ke empat: JUDUL CERITA
Banyak pengarang pemula yang 'gegabah' dalam memberi judul cerpennya. Padahal
judul adalah hakikat cerita. Judul yang baik dan menarik haruslah yang membuat
pembaca tertarik dan ingin tahu. Tetapi di sisi lain,judul juga harus mampu
menggambarkan cerita secara keseluruhan.
Berat? Tidak juga. Kita hanya harus sering melatih kepekaan, rasa bahasa kita.
Hemingway misalnya, sering membuat daftar judul yang panjang setelah selesai
mengarang, baru kemudian memilih satu yang paling bagus menurutnya.
Banyak pengarang yang menemukan judul lebih dahulu baru mulai mengarang. Banyak
pula yang memberi judul cerita, setelah cerpen yang ditulisnya selesai. Tak ada
masalah. Keduanya tentu boleh. Bagaimana dengan judul yang puitis? Boleh saja
asal wajar.
Jangan lupa, kalimat pertama dalam cerpen kita akan sangat menentukan. Seperti
judul, buatlah kalimat pertama yang menarik dalam cerpen kita.
Putu Wijaya membuka cerpennya "Bom" dengan kalimat kira-kira seperti
ini: Oki terbangun di pagi hari dan menemukan sebuah bom di tempat tidurnya.
Menarik bukan? Pembaca akan tergerak rasa ingin tahunya dan meneruskan membaca
hingga akhir.
Di samping itu, kalimat terakhir dalam cerpen kita juga sangat menentukan
keberhasilan cerita secara keseluruhan. Pembaca yang 'nakal' sering hanya
membaca judul, kalimat pertama dan kemudian langsung membaca bagian akhir
sebuah cerpen.
Katakanlah, kita tutup cerpen kita dengan kalimat: Dan ia pun menutup mata
selama-lamanya. Tentu saja sang pembaca merasa sudah kesal duluan dan menganggap cerpen itu tidak menarik
karena ketahuan tokohnya meninggal di akhir cerita.
Perlu diingat pula, bahwa cerpen yang memiliki ending terbuka (tanpa
penyelesaian yang jelas atau sempurna), seringkali lebih menarik tinimbang cerpen-cerpen yang dipaksakan diakhiri
dengan sebuah penyelesaian yang tuntas.
So, jika ingin menjadi cerpenis, maka harus banyak membaca karya orang lain. Agar semakin banyak kosakata yang dimiliki.. seperti kata Kuntowijoyo : bagi penulis, langkah pertama adalah menulis, langkah kedua menulis, langkah ketiga adalah menulis.
Selamat menulis...
Dikutip dari tulisan Helvi Tiana Rosa
Bermanfaat sekali informasinya mbak.
BalasHapusJadi terdefinisi apa saja yang Anna rasa kurang dalam gaya menulis Anna.
hehehe
Terimakasih mbak Dekha
^_^
sama-sama say..
Hapusselamat membaca ya.. ^_*