SECARIK
KERTAS
Oleh : Khadijah Anwar
“Della,
maafkan aku. Aku harus mengakhiri hubungan ini. Mulai detik ini kamu harus
melupakan aku. Melupakan semua mimpi yang telah kita impikan bersama. Biarkan
masa lalu kita menjadi bagian terindah dalam memori ingatanku. Ini keputusanku.
Dan kamu tak perlu mencariku.”
Ini kesekian kalinya aku membaca
kertas ini. Membaca secarik kertas yang mampu membuatku terpuruk. Secarik
kertas yang mengubah hidup dan mimpiku. Secarik kertas yang telah siap
menghancurkan masa depanku.
Dalam sunyi ini pun, aku masih dalam
diam dengan secarik kertas ini. Aku duduk di depan jendela kamarku. Bersama
lantunan merdu suara hewan malam. Bersama desir angin yang dinginnya menusuk
tulang. Bersama segudang tanya yang
masih belum terjawab. Begitu lama aku mencari dan menanti jawabnya. Tapi, tak
jua aku temukan.
Ku tatap langit tak berbintang.
Rembulan hanya sendiri. Sendiri dengan keindahannya. Sendiri dengan pesonanya.
Tanpa bintang, ia tetap indah. Tanpa bintang, ia tetap mem pesona. Meski tak
sesempurna bersama bintang. Bagaimana dengan aku? Aku tak dapat seindah
rembulan tanpa dia. Tanpa seseorang yang selama ini memberi cahaya dalam
gelapku. Brama.
Brama. Aku benci menyebut nama itu. Aku benci mengingatnya. Namun,
aku juga merindukannya. Merindukan semua hal darinya. Tapi, kebencian ini lebih
menguasai seluruh hati dan pikiranku. Satu minggu lalu, dia pergi dan hanya
meninggalkan secarik kertas ini. Meninggalkan bunga-bunga cinta yang tengah
mekar. Meninggalkan sejuta cerita indah yang pernah terjalin. Meninggalkan
berjuta mimpi yang telah terangkai. Dan meninggalkan segores luka yang begitu
perih. Aku tak pernah tahu apa alasannya, karena sebelumnya semua baik-baik
saja.
Hati ini terluka. Hati ini
tersakiti. Tapi, hati ini masih belum bisa terima semua ini. Hati ini masih
menyimpan tanya yang harus terjawab. Hati ini masih membutuhkan jawaban.
“Kenapa
dia meninggalkanku? Apa salahku?”
Selalu, selalu, dan selalu hanya
tanya itu yang ada di tiap langkah ini. Bahkan di dalam mimpi pun tanya itu
menghantui. Aku tak berdaya dibuatnya. Aku mulai letih mencari. Aku benar-benar
mulai rapuh tanpanya.
Sekali lagi, aku membaca kertas di
genggamanku. Lagi-lagi butiran bening itu tak mampu aku bendung. Itu ungkapan hatiku kini. Tersakiti.
Rasanya baru kemarin aku dan dia merajut cinta. Berjanji setia sehidup semati.
“Aku janji, aku nggak akan pernah
meninggalkanmu, apa pun yang terjadi. Kita akan menikah dan menghabiskan waktu
bersama hingga ajal menjemput kita.”
Itu janjinya. Ya, itu janji manisnya
dan bodohnya aku mempercayainya. Sangat mempercayainya. Hingga membuatku bodoh,
memberikan segalanya padanya. Kini, semua hanya tinggal janji. Hanya janji
semata. Janji yang tak akan pernah terpenuhi.
“Argh…” Teriak batinku yang
benar-benar letih memikirkan semua ini. Pikiranku kacau. Aku tak dapat berpikir
dengan jernih lagi. Dia telah meninggalkanku, itu kenyataannya sekarang. Dan
aku belum bisa terima semua begitu saja. Aku mencintainya. Aku hanya ingin
bersamanya. Aku tak mungkin hidup tanpanya. Dia telah memilikiku dan seluruh
tubuhku.
“Argh…” Suara rintihanku tertahan.
Sebuah pisau tajam telah ku pilih untuk mengakhiri hidupku. Aku tak sanggup
menanggung beban ini sendiri. Aku sudah benar-benar letih dengan semua rasa
bersalah dan penyesalan ini.
Andai dulu aku mendengarkan nasihat Mama untuk tidak berhubungan dengannya. mungkin
semua tak akan jadi begini. Mungkin aku tak harus mengakhiri hidupku dengan
cara ini. Tapi ini pilihanku, sama seperti pilihannya untuk meninggalkanku.
Aku lihat Mama menangisi kepergianku, sambil memeluk
tubuhku yang berlumuran darah dengan
erat. Ingin aku memeluk mama dan mendekapnya dengan erat. Menghapus air mata
kesedihannya. Tapi, itu percuma. Mama tak bisa merasakan pelukanku saat ini.
Karena dunia kami telah berbeda. “Maafkan aku, Ma.” Bisikku pelan.
Aku
telah meninggalkan semua dengan cara yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya. Mungkin
hanya dengan cara ini aku bisa menemukan jawabnya. “Brama, aku akan mencarimu
di belahan bumi mana pun kau berada.
TAMAT
Palembang, 17 Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
kata-kata yang baik, mencerminkan pribadi seseorang.