Jumat, 15 Maret 2013

Tembok Di Balik Jeruji


TEMBOK DI BALIK JERUJI

Karya : Khadijah Anwar

Aku ingat betul, satu minggu lalu dia datang dengan penuh luka memar di wajahnya. Lelaki tua itu diseret dengan kasar ke hadapan seorang berkumis tebal. Dia tersungkur tepat di sampingku. Pipinya membiru, tatapannya yang penuh emosi terlihat jelas dari tempatku melihatnya. Ada rasa iba melihatnya. Tapi, aku tak berdaya sama sepertinya yang juga tak berdaya. Aku mendengar kata cacian terlontar begitu saja dari mulut orang-orang yang berwajah tak berperasaan. Aku tertegun mendengarnya. Sementara dia, masih terus menahan sakit sambil terus memohon untuk dibebaskan.
"Saya hanya mengambil beberapa ranting pohon, untuk kayu bakar. Saya tidak mencuri. Tolong jangan hukum saya." Ungkapnya memohon. Berharap mendapat belas kasihan dari orang-orang itu. Aku semakin tertegun melihatnya. Orang-orang sok berkuasa itu, sama sekali tak mempedulikannya.




"Negeri ini memang tak adil, Bro." Komentar sebuah suara di sampingku.
"Mengapa kau berkata demikian?"
"Kau masih basah, Warnamu saja belum kering betul. Apa yang kau lihat ini hanya sebagian kecil dari ketidakadilan di negeri ini." Ujarnya. "Minggu lalu, seorang koruptor dapat melenggang keluar masuk seperti hotel di tempat ini."
"Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Pencuri ranting pohon saja, disiksa sampai begitu."
"Sudah kubilang kau masih baru di sini, banyak hal yang belum kau tahu." Ujarnya "Kau tak perlu heran. Segepok uang dapat membeli kebebasan. Inilah negeri kita, hukum dapat diperjual beli.”
Obrolan minggu lalu itu bukan obrolan terakhir antara aku dan dia. Karena obrolan itu masih terus berlanjut hingga detik ini. Dia teman diskusi yang menyenangkan. Dia mengetahui banyak hal yang tak aku tahu. Dan aku belajar banyak hal darinya.
Baru saja, aku menyaksikan sendiri apa yang pernah ia ceritakan padaku. Aku belum bisa mempercayai penglihatanku. Seorang koruptor melenggang masuk dengan santai dan senyum terkembang. Padahal, dia baru selesai disidang. Dengan vonis tujuh tahun penjara.
“Hanya tujuh tahun, Bro. seorang koruptor dihukum hanya tujuh tahun penjara. Kau tahu, lelaki tua tempo hari dihukum lima tahun penjara. Bisa kau bayangkan? Betapa tidak adilnya negeri ini.” Ujarnya penuh emosi.
            Aku hanya diam mendengarkannya. Memikirkan apa yang dikatakannya. Tak mampu berkomentar sedikit pun. Yah, aku membisu. Membisu dengan semua pikiran yang ada di dalam benakku.
            “Aku rasa kau sudah tahu semua keborokan hukum di negeri ini. Hukum di negeri ini bagai pisau, yang hanya tajam di bawah namun tumpul di atas. Hukum hanya menyentuh orang-orang yang tak punya, seperti lelaki tua tempo hari. Namun, tidak untuk orang-orang berkuasa yang beruang. Hukum ini murahan.” Lanjutnya masih dengan emosi yang menggebu.
            Aku dapat merasakan emosi yang tengah dirasakannya. Merasakan kebencian yang tengah dirasakannya. Aku pun merasakan semua itu. Aku membenci semua ketidakadilan ini. Aku membenci semua kebohongan ini. Tapi, aku sama sekali tak berdaya. Aku tak dapat melakukan sesuatu yang dapat mengubah semua keadaan ini.
            “Apa yang dapat kita lakukan? Kita tak berdaya.” Suaraku akhirnya pasrah yang menyadari bahwa semua emosi ini sia-sia.
            Aku melihatnya hanya diam. Mencoba mencerna kalimat yang baru saja aku ucapkan. Atau mungkin memikirkan cara agar ada sesuatu yang dapat dilakukan. Agar semua ketidak adilan ini berakhir. Aku pun ikut diam. Menanti reaksi darinya. Beberapa saat kami diam. Hanya suara langkah kaki orang yang terdengar. Dan suara-suara kebohongan yang keluar begitu saja, tanpa peduli bahwa aku dan dia mendengar pembicaraan mereka.
            “Yah, kau benar kita tak berdaya. Jangankan kita, makhluk-makhluk bernyawa itu pun tak mampu berbuat banyak. Apalagi kita!” Ujarnya akhirnya yang tampaknya juga pasrah.
            Aku dan dia kembali membisu. Aku dan dia hanyalah saksi bisu dari setiap ketidakadilan di tempat ini. Kami ingin marah dan mengungkap semua. Tapi, seperti kataku tadi, kami tak berdaya. Karena aku dan dia hanyalah tembok batu. Tembok batu di balik jeruji.
TAMAT
(Semendo, 26 Januari 2011)

2 komentar:

kata-kata yang baik, mencerminkan pribadi seseorang.