TEMBOK DI BALIK JERUJI
Karya : Khadijah Anwar
Aku ingat betul, satu minggu lalu dia
datang dengan penuh luka memar di wajahnya. Lelaki tua itu diseret dengan kasar
ke hadapan seorang berkumis tebal. Dia tersungkur tepat di sampingku. Pipinya
membiru, tatapannya yang penuh emosi terlihat jelas dari tempatku melihatnya. Ada rasa iba melihatnya.
Tapi, aku tak berdaya sama sepertinya yang juga tak berdaya. Aku mendengar kata
cacian terlontar begitu saja dari mulut orang-orang yang berwajah tak berperasaan. Aku tertegun mendengarnya. Sementara dia, masih
terus menahan sakit sambil terus memohon untuk dibebaskan.
"Saya hanya mengambil beberapa
ranting pohon, untuk kayu bakar. Saya tidak mencuri. Tolong jangan hukum
saya." Ungkapnya memohon. Berharap mendapat belas kasihan dari orang-orang
itu. Aku semakin tertegun melihatnya. Orang-orang sok berkuasa itu, sama sekali
tak mempedulikannya.
"Negeri ini memang tak adil,
Bro." Komentar sebuah suara di sampingku.
"Mengapa kau berkata
demikian?"
"Kau masih basah, Warnamu saja
belum kering betul. Apa yang kau lihat ini hanya sebagian kecil dari
ketidakadilan di negeri ini." Ujarnya. "Minggu lalu, seorang koruptor
dapat melenggang keluar masuk seperti hotel di tempat ini."
"Bagaimana mungkin itu bisa
terjadi? Pencuri ranting pohon saja, disiksa sampai begitu."
"Sudah kubilang kau masih baru di
sini, banyak hal yang belum kau tahu." Ujarnya "Kau tak perlu heran.
Segepok uang dapat membeli kebebasan. Inilah negeri kita, hukum dapat diperjual
beli.”
Obrolan minggu lalu itu bukan obrolan
terakhir antara aku dan dia. Karena obrolan itu masih terus berlanjut hingga
detik ini. Dia teman diskusi yang menyenangkan. Dia mengetahui banyak hal yang
tak aku tahu. Dan aku belajar banyak hal darinya.
Baru saja, aku menyaksikan sendiri apa
yang pernah ia ceritakan padaku. Aku belum bisa mempercayai penglihatanku.
Seorang koruptor melenggang masuk dengan santai dan senyum terkembang. Padahal,
dia baru selesai disidang. Dengan vonis tujuh tahun penjara.
“Hanya tujuh tahun, Bro. seorang
koruptor dihukum hanya tujuh tahun penjara. Kau tahu, lelaki tua tempo hari
dihukum lima
tahun penjara. Bisa kau bayangkan? Betapa tidak adilnya negeri ini.” Ujarnya
penuh emosi.
Aku
hanya diam mendengarkannya. Memikirkan apa yang dikatakannya. Tak mampu
berkomentar sedikit pun. Yah, aku membisu. Membisu dengan semua pikiran yang
ada di dalam benakku.
“Aku
rasa kau sudah tahu semua keborokan hukum di negeri ini. Hukum di negeri ini
bagai pisau, yang hanya tajam di bawah namun tumpul di atas. Hukum hanya
menyentuh orang-orang yang tak punya,
seperti lelaki tua tempo hari. Namun, tidak untuk orang-orang berkuasa yang beruang. Hukum ini murahan.” Lanjutnya masih dengan emosi
yang menggebu.
Aku
dapat merasakan emosi yang tengah dirasakannya. Merasakan kebencian yang tengah
dirasakannya. Aku pun merasakan semua itu. Aku membenci semua ketidakadilan
ini. Aku membenci semua kebohongan ini. Tapi, aku sama sekali tak berdaya. Aku
tak dapat melakukan sesuatu yang dapat mengubah semua keadaan ini.
“Apa
yang dapat kita lakukan? Kita tak berdaya.” Suaraku akhirnya pasrah yang
menyadari bahwa semua emosi ini sia-sia.
Aku
melihatnya hanya diam. Mencoba mencerna kalimat yang baru saja aku ucapkan.
Atau mungkin memikirkan cara agar ada sesuatu yang dapat dilakukan. Agar semua
ketidak adilan ini berakhir. Aku pun ikut diam. Menanti reaksi darinya.
Beberapa saat kami diam. Hanya suara langkah kaki orang yang terdengar. Dan
suara-suara kebohongan yang keluar begitu saja, tanpa peduli bahwa aku dan dia
mendengar pembicaraan mereka.
“Yah,
kau benar kita tak berdaya. Jangankan kita, makhluk-makhluk bernyawa itu pun
tak mampu berbuat banyak. Apalagi kita!” Ujarnya akhirnya yang tampaknya juga
pasrah.
Aku
dan dia kembali membisu. Aku dan dia hanyalah saksi bisu dari setiap
ketidakadilan di tempat ini. Kami ingin marah dan mengungkap semua. Tapi,
seperti kataku tadi, kami tak berdaya. Karena aku dan dia hanyalah tembok batu.
Tembok batu di balik jeruji.
TAMAT
(Semendo, 26 Januari 2011)
nice :D
BalasHapusceritanya menarik, sayang terlalu singkat :D
BalasHapus